JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Anggota DPD RI Dapil Jakarta, Fahira Idris menyampaikan catatan reflektif terkait penerapan otonomi daerah di Indonesia.
Lebih dari dua dekade sejak diberlakukan pasca-Reformasi, otonomi daerah tetap merupakan pilihan strategis bagi Indonesia sebagai negara besar dan majemuk, namun membutuhkan redesain agar benar-benar menjadi fondasi kokoh menuju Indonesia maju.
Senator Jakarta ini menilai, otonomi daerah telah membawa banyak capaian positif yang patut diapresiasi. Kebijakan ini berhasil mendekatkan negara kepada rakyat, membuka ruang inovasi kebijakan lokal, serta mempercepat pelayanan publik di berbagai daerah.
Otonomi daerah juga mendorong pemerataan pembangunan dan memberi kesempatan bagi daerah untuk berkembang sesuai karakter dan potensinya masing-masing.
“Secara prinsip, otonomi daerah adalah upaya menghadirkan pemerintahan yang lebih responsif, demokratis, dan berkeadilan. Banyak daerah yang menunjukkan kemajuan signifikan karena diberi ruang mengelola urusannya sendiri. Namun, kita harus jujur dalam praktiknya masih menghadapi tantangan struktural yang serius sehingga perlu dilakukan redesain otonomi daerah yang lebih berani, terarah, dan konsisten agar benar-benar menjadi fondasi Indonesia maju,” kata Fahira dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 31 Desember 2025.
Fahira mencatat sejumlah tantangan struktural yang masih menghambat optimalisasi otonomi daerah. Salah satunya adalah pembagian kewenangan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketidakjelasan ini kerap menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan, terutama saat menghadapi krisis seperti bencana besar, persoalan lingkungan, dan pelayanan publik lintas wilayah.
Selain itu, ia juga menyoroti kecenderungan resentralisasi melalui berbagai regulasi sektoral yang menarik kembali kewenangan daerah ke pusat. Menurutnya, kondisi ini berisiko menggerus semangat desentralisasi dan mematikan inovasi daerah.
“Daerah tidak boleh hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat. Otonomi harus memberi ruang bagi daerah untuk mengambil keputusan strategis sesuai kebutuhan lokal,” ujarnya.
Persoalan kemandirian fiskal daerah juga menjadi catatan penting. Fahira Idris mengungkapkan, tingginya ketergantungan daerah terhadap dana transfer pusat menunjukkan bahwa otonomi fiskal belum berjalan optimal. Ketergantungan ini membuat daerah kurang leluasa berinovasi dan rentan terhadap perubahan kebijakan fiskal nasional.
Di sisi lain, tantangan tata kelola dan integritas pemerintahan daerah juga perlu terus dibenahi. Aktivis perempuan ini mengingatkan bahwa otonomi daerah tidak boleh identik dengan desentralisasi korupsi. Sistem pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas harus diperkuat agar otonomi benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Berangkat dari berbagai refleksi tersebut, Fahira Idris mendorong perlunya redesain otonomi daerah secara menyeluruh dan berani, setidaknya dalam lima sektor.
Pertama, pembagian urusan pemerintahan harus ditegaskan kembali berdasarkan prinsip dampak dan kapasitas. Urusan yang bersifat lokal dan menyentuh layanan dasar seharusnya menjadi domain kabupaten/kota. Urusan lintas wilayah dikuatkan di tingkat provinsi sebagai koordinator regional. Sementara urusan strategis nasional seperti bencana besar, perubahan iklim, dan infrastruktur lintas provinsi, harus dipimpin penuh oleh pemerintah pusat. Kejelasan ini penting agar tidak ada lagi saling lempar tanggung jawab.
Kedua, Indonesia perlu mendorong desentralisasi asimetris secara lebih serius. Tidak semua daerah bisa diperlakukan sama. Karakter geografis, kapasitas fiskal, dan kondisi sosial-budaya daerah sangat beragam. Memberikan ruang otonomi yang disesuaikan dengan kondisi lokal justru akan memperkuat keadilan dan efektivitas pemerintahan, tanpa mengancam keutuhan NKRI.
Ketiga, penguatan kemandirian fiskal daerah harus menjadi agenda nasional. Ini bukan semata soal menaikkan transfer, tetapi memperluas basis pendapatan daerah secara adil, mendorong hilirisasi ekonomi lokal, dan memastikan bagi hasil sumber daya alam yang lebih berkeadilan. Daerah yang kuat secara fiskal akan lebih berani berinovasi dan bertanggung jawab kepada warganya.
Baca Juga: Festival Beasiswa Merah Putih DPD RI Hari Kedua: Akses Pendidikan Merata untuk SDM Unggul Masa Depan
Keempat, hubungan pusat dan daerah harus dibangun dalam semangat kemitraan, bukan subordinasi. Pemerintah pusat tetap memegang kepentingan nasional, tetapi daerah harus diposisikan sebagai mitra strategis, bukan objek kebijakan. Koordinasi lintas kementerian dengan daerah perlu diperkuat, ego sektoral dikurangi, dan peran gubernur sebagai koordinator wilayah diperjelas serta diperkuat secara kelembagaan.
Kelima, demokrasi lokal dan partisipasi publik harus tetap dijaga sebagai ruh otonomi daerah. Otonomi bukan hanya soal kewenangan administratif, tetapi juga ruang bagi warga untuk menentukan arah pembangunan daerahnya. Tanpa partisipasi bermakna dan akuntabilitas publik, otonomi akan kehilangan legitimasi sosialnya.
Menutup catatan akhir tahunnya, Fahira Idris menegaskan keyakinannya bahwa otonomi daerah tetap menjadi fondasi penting bagi masa depan Indonesia. Tantangannya bukan pada konsep dasar, melainkan pada desain dan implementasinya.
“Dengan redesain kebijakan yang tepat, penguatan kapasitas daerah, serta relasi pusat-daerah yang adil dan kolaboratif, otonomi daerah diyakini mampu menjadi pilar utama menuju Indonesia yang maju, berdaya saing, dan berkeadilan sosial,” tuturnya.