POSKOTA.CO.ID - Pengakuan presenter dan figur publik Irfan Hakim mengenai dugaan malpraktik medis yang menimpa ayahnya kembali menjadi sorotan luas publik.
Curhatan emosional tersebut disampaikan Irfan dalam sebuah podcast bersama Sara Wijayanto dan belakangan viral di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok dan X.
Dalam perbincangan tersebut, Irfan Hakim secara terbuka menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya pada 2017, saat sang ayah, Rosyid Sukarya, meninggal dunia setelah menjalani perawatan medis di sebuah rumah sakit di Bandung.
Meski peristiwa itu telah berlalu hampir delapan tahun, pengakuan Irfan kembali menggugah perhatian masyarakat terhadap isu krusial seputar keselamatan pasien, akuntabilitas tenaga medis, dan transparansi rumah sakit.
Baca Juga: Artefak Otomotif Langka, Ford Probe IV Concept Dijual di Amerika Serikat.
Dilansir dari unggahan akun TikTok @e.yes.on.me, Irfan tampak tak kuasa menahan emosi saat mengenang detik-detik kritis ayahnya. Dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, ia menyebut adanya tindakan medis yang menurutnya tidak sesuai prosedur.
“Sampai saya bilang seperti ini. Dokter akan merasakan apa yang saya rasakan. Itu malpraktik,” ujar Irfan Hakim dalam podcast tersebut.
Tak lama setelah tindakan medis itu dilakukan, kondisi ayah Irfan disebut semakin memburuk hingga akhirnya meninggal dunia beberapa hari kemudian. Kenangan tersebut kembali memicu kemarahan dan kesedihan mendalam bagi sang presenter, yang selama ini memilih menyimpannya sebagai luka pribadi.
Luka Lama yang Kembali Terbuka
Rosyid Sukarya diketahui meninggal dunia pada 21 November 2017 di Bandung. Saat itu, pihak keluarga menyebut penyebab meninggalnya adalah sakit yang diderita almarhum. Namun, seiring waktu, Irfan mengaku menyimpan keyakinan bahwa terdapat kejanggalan dalam proses penanganan medis yang diterima ayahnya.
Dalam podcast tersebut, Irfan bahkan menyebut masih mengingat dengan jelas nama dokter dan rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Ia juga mengklaim memiliki dokumentasi berupa video yang, apabila dipublikasikan, dapat berdampak besar terhadap reputasi rumah sakit terkait.
“Itu aku punya videonya. Kalau aku posting dan viral, rumah sakit itu bisa tutup,” ucap Irfan, menegaskan beratnya bukti yang ia simpan.
Sara Wijayanto yang duduk di samping Irfan berusaha menenangkan suasana, menyadari emosi mendalam yang muncul dari pengalaman traumatis tersebut. Percakapan itu pun menjadi titik balik yang memicu diskusi publik lebih luas mengenai dugaan malpraktik medis di Indonesia.
Reaksi Warganet
Pengakuan Irfan Hakim menuai respons beragam dari warganet. Banyak yang menyatakan empati dan dukungan, namun tak sedikit pula yang mendorong agar kasus tersebut dibuka secara terang demi mencegah korban serupa di masa depan.
Akun @CeuceuIntan menuliskan, “Kalau Irfan Hakim yang punya akses dan uang saja bisa mengalami hal seperti ini, bagaimana dengan masyarakat biasa?” Sementara akun @mitaa menyarankan agar Irfan menyebutkan nama rumah sakit terkait sebagai bentuk tanggung jawab moral dan edukasi publik.
Baca Juga: 36 Titik Lokasi Lahan Parkir yang Disiapkan Pemprov DKI Jakarta Menjelang Malam Tahun Baru 2026
Diskursus ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak pasien dan pentingnya sistem pengawasan medis yang lebih ketat. Dugaan malpraktik bukan hanya soal kesalahan teknis, tetapi juga menyangkut etika profesi, empati tenaga kesehatan, serta kepercayaan publik terhadap institusi layanan kesehatan.
Hingga kini, Irfan Hakim belum secara resmi menyebutkan nama rumah sakit maupun dokter yang dimaksud. Keputusannya untuk membuka kisah ini ke publik tampaknya bukan semata untuk mencari keadilan pribadi, melainkan sebagai peringatan bahwa kasus serupa bisa menimpa siapa saja.
Viralnya curhatan Irfan Hakim menjadi momentum refleksi bagi dunia kesehatan nasional. Transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang jujur antara tenaga medis dan keluarga pasien menjadi kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik.
Lebih dari sekadar kisah selebritas, pengakuan ini adalah suara dari seorang anak yang kehilangan ayahnya dan menyimpan luka selama bertahun-tahun. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap statistik kematian pasien, ada keluarga yang berjuang dengan rasa kehilangan, pertanyaan, dan harapan akan keadilan.