TANGERANG, POSKOTA.CO.ID - Masa berlaku insentif kendaraan listrik yang diberikan pemerintah dipastikan berakhir pada tahun ini. Sinyal penghentian insentif tersebut menimbulkan kekhawatiran sejumlah pelaku industri, termasuk BYD yang tengah mempersiapkan proses perakitan lokal di Indonesia.
Pemerintah sebelumnya menerapkan berbagai bentuk dukungan fiskal untuk mendorong percepatan adopsi kendaraan listrik, salah satunya Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 10 persen.
Insentif ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12 Tahun 2025, yang memungkinkan konsumen membayar PPN lebih rendah selama kendaraan listrik tersebut memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa fasilitas tersebut tidak berlanjut pada tahun depan.
Baca Juga: GAC Kantongi 958 SPK di GJAW 2025, AION V Luxury Paling Banyak Dipesan
“Insentif tahun depan tidak ada, karena industrinya sudah cukup kuat,” ujar Airlangga.
Kondisi ini membuat produsen kendaraan listrik bersiap menghadapi situasi baru. BYD menjadi salah satu pihak yang terdampak, sebab perusahaan berencana memulai perakitan lokal pada awal 2026. Tanpa insentif, harga produk dipastikan akan terpengaruh.
Presiden Direktur PT BYD Motor Indonesia, Eagle Zhao, menilai perkembangan pasar kendaraan listrik Indonesia sejauh ini sangat progresif. Ia menyoroti lonjakan adopsi yang berlangsung dalam waktu relatif singkat.
"Indonesia menjadi salah satu negara dengan perkembangan EV tercepat di Asia Tenggara, di mana dalam dua tahun, penjualan EV di Indonesia meningkat dari 2 persen ke 12 persen. Dan capaian ini tidak akan terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah (Indonesia),” ucap Eagle dalam Media Gathering di Sentul, Bogor.
Ia memastikan, BYD tetap berkomitmen pada pembangunan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
“BYD juga sangat berkomitmen dengan ekosistem EV di Indonesia. Itu mengapa kami akan mengoperasikan pabrik kami (di Subang, Jawa Barat) pada kuartal pertama 2026,” katanya.
Meski pertumbuhan permintaan mobil listrik saat ini didominasi wilayah perkotaan, Eagle menilai konsumen di daerah juga menantikan lebih banyak pilihan kendaraan listrik.
Menurutnya, seluruh pelaku industri memiliki peluang besar jika akses pasar diperluas dan dukungan regulasi tetap terjaga.
Eagle turut mengingatkan bahwa industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan berat pada 2024-2025, termasuk penurunan penjualan kendaraan konvensional.
Baca Juga: Mitsubishi Fuso Serahkan 10 Fighter X FM65F TH 4x2 kepada Tako Group
Namun, pasar EV justru memberikan kontribusi positif melalui pertumbuhan penjualan yang konsisten.
“Dan untuk peningkatan produksi, kami masih membutuhkan waktu, karena dalam memproduksi EV itu tidak bisa cepat. Kami juga harus membuat ribuan lapangan kerja di bidang manufaktur kami,” jelasnya.
Menutup penjelasannya, Eagle menekankan kembali pentingnya keberlanjutan insentif kendaraan listrik agar industri dapat bertumbuh secara stabil.
“Pada 2026, tentunya kami membutuhkan dukungan lebih lanjut dari pemerintah terkait perpanjangan insentif untuk EV (mobil listrik),” ujar Eagle.