POSKOTA.CO.ID - Wacana penyederhanaan nominal Rupiah atau redenominasi Rupiah kembali mencuat ke permukaan. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, secara resmi memasukkan kebijakan strategis ini ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah, yang ditargetkan rampung pada 2027.
Langkah ini memicu serangkaian harapan sekaligus kecemasan di tengah masyarakat mengenai masa depan transaksi keuangan mereka.
Kebijakan yang kerap disalahartikan sebagai sanering (pemotongan nilai uang) ini, sejatinya adalah upaya rebranding mata uang.
Redenominasi hanya menghapus beberapa angka nol di belakang nominal tanpa mengurangi daya beli. Misalnya, Rp10.000 bisa berubah menjadi Rp10, namun nilai riilnya untuk membeli barang tetap setara.
Baca Juga: Respons Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Soal Alternatif BBM Bobibos RON 98: 'Kita Pelajari Dulu Ya'
Dari Gagasan Menuju Aksi: Sejarah Panjang Redenominasi
Ini bukan pertama kalinya Indonesia berencana melakukan redenominasi. Gagasan serupa pernah digaungkan dengan kuat pada era Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, namun kandas sebelum terealisasi.
Kini, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya, niat itu dihidupkan kembali dengan komitmen yang lebih konkret.
Komitmen tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keungan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, di mana redenominasi menjadi satu dari empat prioritas utama, berdampingan dengan RUU Lelang, Pengelolaan Kekayaan Negara, dan Penilai.
Posisinya yang strategis menandakan keseriusan pemerintah dalam membenahi fondasi ekonomi nasional.
Dampak Redenominasi Rupiah
Kebijakan fundamental ini bakal menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berikut penjabaran dampak-dampak utamanya:
