KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Kriminolog Haniva Hasna menilai, tragedi ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, menunjukan rapuhnya rasa aman di sekolah.
Haniva menekankan, kasus tersebut tidak hanya tentang penyebab teknis atau kelalaian, tetapi menyentuh aspek sosial dan psikologis di balik lemahnya kontrol keamanan sekolah.
“Ketika sekolah menjadi ruang luka, kita dipaksa bertanya 'apakah yang meledak hanyalah benda atau juga rasa aman yang telah rapuh sekian lama'?” kata Haniva saat dihubungi Poskota, Jumat, 7 November 2025.
Menurutnya, korban bagian dari komunitas pendidikan, bukan target acak. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, karena sekolah selama ini dianggap sebagai ruang aman bagi anak dan remaja.
Baca Juga: Pramono Tanggung Biaya Pengobatan Korban Ledakan SMAN 72
Ia menyebutkan, motif di balik insiden masih belum bisa dipastikan, karena penyelidikan terus berjalan. Namun, ia menilai kemungkinan penyebab bisa beragam, mulai kelalaian teknis, seperti gangguan listrik atau alat audio, hingga tindakan disengaja, termasuk eksperimen berisiko atau vandalisme.
“Belum ada bukti kuat yang mengarah pada terorisme, karena itu penting agar publik tidak terburu-buru memberi label ekstrem,” ujar dia.
Sementara itu, ia mengapresiasi langkah cepat aparat yang langsung melakukan olah tempat kejadian perkara, mensterilkan lokasi, serta memberikan klarifikasi publik terkait benda yang sempat disangka senjata api, yang ternyata hanya pistol mainan. Dari perspektif kriminologis, ia menyoroti empat aspek penting, yaitu pelaku, korban, lingkungan, dan sistem respons.
“Respons cepat dan komunikasi publik yang jernih adalah bagian penting dari manajemen krisis agar tidak memicu kepanikan,” katanya.
Baca Juga: Kapolri Pastikan Korban Jiwa Nihil dalam Ledakan SMAN 72 Jakarta
Ia juga menyoroti dampak sosial dan psikologis dari peristiwa ini. Dengan puluhan korban luka, ia menilai pentingnya layanan pemulihan psikologis bagi siswa dan guru.
Menurutnya, peristiwa semacam ini dapat meninggalkan trauma mendalam, terutama bagi anak-anak yang melihat sekolah sebagai tempat aman.
"Trauma kolektif bisa mengganggu proses belajar dan rasa percaya pada institusi pendidikan,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan, faktor sosial seperti tekanan akademik, konflik antarsiswa, hingga pengaruh konten berbahaya di internet dapat berperan dalam membentuk perilaku berisiko di kalangan remaja.
Haniva merujuk pada teori Differential Association dan Social Control yang menjelaskan perilaku menyimpang bisa dipelajari dalam interaksi sosial dan diperkuat ketika ikatan sosial dengan sekolah atau keluarga melemah.
Selanjutnya, Haniva merekomendasikan sejumlah langkah pencegahan, di antaranya audit menyeluruh terhadap keamanan fasilitas sekolah, pelatihan darurat bagi guru dan siswa, serta kolaborasi antara pihak sekolah, psikolog, dan kepolisian dalam deteksi dini masalah psikososial siswa.
Baca Juga: Polisi Gali Motif Siswa Diduga Dalang Ledakan SMAN 72 Jakarta
“Sekolah harus membangun budaya keterbukaan dan pengawasan, agar potensi bahaya atau eksperimen berisiko bisa dicegah sebelum menjadi tragedi,” tuturnya.