KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Greenpeace Indonesia menyebut temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait adanya kandungan mikroplastik dalam air hujan di Jakarta menjadi sinyal kuat bahwa polusi plastik telah mencapai tahap krisis.
Mereka juga menilai plastik kini tidak hanya terlihat di darat dan laut, tetapi juga telah menyebar ke udara dan bahkan masuk ke tubuh manusia.
“Masalah plastik sudah mencapai level krisis, dari yang terlihat sampai yang tak terlihat. Mikroplastik sekarang sudah ada di udara, hujan, bahkan di darah dan urine manusia,” ujar
Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar, saat dikonfirmasi, Sabtu, 18 Oktober 2025.
Baca Juga: Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, BRIN Ungkap Dampak dan Solusinya
Menurut Ibar, bahaya mikroplastik sulit disadari karena ukurannya sangat kecil dan hanya bisa diamati dengan mikroskop.
Namun, dampaknya nyata terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Karena itu, ia menilai bahwa solusi terhadap krisis plastik tidak bisa hanya mengandalkan pembakaran atau pengolahan limbah semata.
“Selama produksi plastik tidak dikurangi sejak dari hulu, maka polusinya akan terus berulang. Penggunaan insinerator atau teknologi daur ulang tidak menyelesaikan akar masalah,” beber Ibar.
Karena itu, kata Ibar, Greenpeace Indonesia mendorong pemerintah dan industri untuk segera melakukan pengurangan produksi plastik sekali pakai.
Menurutnya, sistem kemasan yang hanya digunakan sekali menjadi penyumbang utama timbunan sampah plastik yang kini sulit dikendalikan.
“Yang perlu diubah bukan cuma kemasannya, tapi sistemnya. Kita harus beralih ke sistem guna ulang seperti kemasan kaca, aluminium, atau plastik tebal yang bisa dipakai berkali-kali. Beberapa bisnis sudah mulai ke arah sana, tapi perlu dukungan kebijakan dan insentif dari pemerintah,” jelas Ibar.
Ibar menambahkan, dukungan tersebut bisa berupa insentif fiskal dan ekonomi bagi perusahaan yang berkomitmen menjalankan sistem isi ulang atau guna ulang.
Di sisi lain, perusahaan besar seperti Unilever, Nestlé, dan Mayora juga dinilai memiliki peran penting dalam transisi menuju industri bebas plastik sekali pakai.
Baca Juga: Atasi Polusi Udara, DPRD DKI Dukung Perbanyak RTH
Selain itu, Ibar menyoroti pentingnya koordinasi lintas sektor dalam penanganan masalah plastik. Selama ini, isu plastik seringkali hanya dibebankan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), padahal persoalan ini juga berkaitan erat dengan sektor kesehatan dan industri.
“Dampak plastik terhadap kesehatan harus jadi perhatian serius. Ada peran Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian yang juga penting. Tanpa koordinasi lintas sektor, masalah plastik tidak akan selesai,” terang Ibar.
Terkait kondisi di Jakarta dan kota besar lainnya, Ibar menyebut bahwa volume sampah plastik terus meningkat setiap tahun. Beberapa tempat pembuangan akhir (TPA) bahkan sudah mengalami overload dan memicu kebakaran.
Seperti di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat dan lainnya yang sudah penuh dan mulai kesulitan mencari lahan baru.
"Ini menunjukkan sistem pengelolaan sampah kita tidak seimbang dengan laju produksi plastik,” ucap Ibar.
Karena itu, kata Ibar, Greenpeace menegaskan, tanpa pengurangan produksi plastik di tingkat industri dan dukungan kuat dari pemerintah, mikroplastik akan terus mencemari lingkungan dan tubuh manusia.
Bahkan, turun bersama air hujan yang kini jatuh di kota-kota Indonesia.