POSKOTA.CO.ID - Stasiun Cikini yang berlokasi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, memiliki sejarah panjang yang bermula dari masa kolonial Hindia Belanda.
Sebelum menjadi stasiun seperti sekarang, tempat ini dulunya hanyalah sebuah halte sederhana yang melayani kereta lokal dan lintas kota.
Berdasarkan catatan sejarah, halte ini resmi beroperasi pada tahun 1926 dan kemudian diubah statusnya menjadi stasiun kelas menengah.
Pada masa itu, keberadaan halte ini sangat penting karena mendukung mobilitas masyarakat di kawasan Menteng dan Gondangdia yang tengah berkembang sebagai daerah hunian elit kolonial.
Seiring meningkatnya aktivitas transportasi dan kepadatan penumpang, pemerintah kolonial memutuskan untuk meningkatkan fungsi halte menjadi stasiun tetap dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Baca Juga: Mirip Tony Stark Asli! Bikin Foto Cowok Jadi Iron Man Lewat Prompt Gemini AI Terbaru Ini
Kaitan dengan Jalur Kereta Lama: Jejak Rel Sejak 1871
Menariknya, sebelum Stasiun Cikini berdiri, jalur rel kereta yang melintas di kawasan ini telah dibangun sejak tahun 1871. Jalur tersebut merupakan bagian dari rute strategis Batavia–Buitenzorg (Jakarta–Bogor) yang menjadi salah satu jalur kereta pertama di Hindia Belanda. Saat itu, Bogor masih dikenal dengan nama Buitenzorg, dan perjalanan kereta menjadi moda transportasi utama bagi para pejabat dan warga kolonial.
Halte Cikini dibangun sebagai pengganti dari Halte Dierentuin, yang berarti “Halte Kebun Binatang”, karena pada masa itu kebun binatang lama Batavia (sekarang Kebun Binatang Cikini) menjadi destinasi populer. Namun, karena pertumbuhan kota dan kebutuhan pengembangan kawasan Menteng, halte lama dianggap kurang strategis. Maka dibuatlah pemberhentian baru di lokasi yang kini dikenal sebagai Stasiun Cikini.
Perkembangan di Masa Hindia Belanda
Pada masa Hindia Belanda, Stasiun Cikini dikenal memiliki arsitektur khas kolonial dengan sentuhan art deco sederhana. Dindingnya didominasi warna kuning kecoklatan, warna yang kemudian menjadi ciri khas dan masih dapat dijumpai hingga kini. Bangunan ini dibangun dengan material kuat dan memiliki desain fungsional untuk menampung penumpang dari berbagai kalangan sosial.
Stasiun ini menjadi penghubung penting antara pusat kota Batavia dan daerah pinggiran seperti Menteng dan Gondangdia. Kala itu, jalur kereta bukan hanya digunakan untuk transportasi umum, tetapi juga untuk mengangkut barang kebutuhan dan hasil bumi ke pelabuhan Tanjung Priok.
Era Modern: Proyek Jalur Layang Manggarai–Jakarta Kota
Transformasi besar Stasiun Cikini terjadi pada awal 1990-an. Pada tahun 1992, stasiun ini menjadi bagian dari proyek jalur layang antara Manggarai dan Jakarta Kota, yang bertujuan untuk mengurai kemacetan lalu lintas di kawasan padat Jakarta Pusat. Proyek ini juga menandai modernisasi sistem transportasi rel di ibu kota.
Kini Stasiun Cikini memiliki dua peron utama:
- Peron bawah, digunakan untuk melayani kereta jarak jauh atau kereta luar biasa (KLB).
- Peron atas, diperuntukkan bagi KRL Commuter Line yang menghubungkan berbagai wilayah Jabodetabek.
Dengan sistem dua peron ini, Stasiun Cikini mampu menampung ribuan penumpang setiap harinya dan menjadi salah satu titik transit penting di jalur KRL Bogor–Jakarta Kota.
Peran Strategis dan Mobilitas Perkotaan
Lokasi Stasiun Cikini sangat strategis karena berada di kawasan padat aktivitas bisnis dan pendidikan. Banyak pengguna KRL yang bekerja, berkuliah, atau berbisnis di sekitar Menteng dan Cikini menjadikan stasiun ini sebagai titik awal dan akhir perjalanan mereka. Selain itu, akses menuju tempat wisata budaya seperti Taman Ismail Marzuki, Cikini Gold Center, dan berbagai gedung perkantoran juga mudah dijangkau dari sini.
Keberadaan stasiun ini juga membantu mengurangi ketergantungan warga Jakarta terhadap kendaraan pribadi, sehingga mendukung upaya pemerintah dalam mendorong transportasi publik yang efisien dan ramah lingkungan.
Warna dan Identitas Khas Stasiun Cikini
Ciri khas warna kuning kecoklatan pada bangunan Stasiun Cikini bukan hanya sekadar estetika, tetapi juga bagian dari identitas arsitektur kolonial yang masih dilestarikan. Warna ini memberi nuansa hangat dan klasik, sekaligus menjadi simbol kontinuitas sejarah antara masa lalu dan masa kini.
Stasiun Cikini tidak hanya berfungsi sebagai tempat naik-turun penumpang, tetapi juga menjadi saksi perjalanan panjang transportasi rel di Indonesia. Dari zaman kolonial, masa kemerdekaan, hingga era digital sekarang, stasiun ini tetap beroperasi dengan fungsi vitalnya.
Pelestarian dan Fungsi Masa Kini
Saat ini, Stasiun Cikini terus berbenah dengan peningkatan fasilitas dan pelayanan. Ruang tunggu diperluas, sistem tiket sudah digital, dan akses bagi penyandang disabilitas diperhatikan. Pemerintah melalui PT KAI dan KAI Commuter juga berupaya menjaga nilai sejarah bangunan tanpa mengabaikan kebutuhan modernisasi.
Stasiun Cikini kini menjadi simbol harmoni antara sejarah dan kemajuan teknologi. Di tengah gedung-gedung modern Menteng, bangunan klasik ini tetap berdiri kokoh dan berfungsi penuh, mengingatkan masyarakat bahwa modernitas tidak harus menghapus jejak masa lalu.
Sejarah Stasiun Cikini adalah potret perjalanan panjang transportasi Jakarta. Dari halte sederhana pada tahun 1926, kini berubah menjadi stasiun modern yang melayani ribuan penumpang setiap hari. Transformasi ini mencerminkan dinamika kota Jakarta yang terus berkembang tanpa meninggalkan warisan sejarahnya.
Stasiun Cikini bukan hanya tempat transit, tetapi juga bagian dari identitas kota, menghubungkan masa lalu kolonial dengan masa depan urban yang berkelanjutan. Bagi warga Jakarta dan sekitarnya, keberadaan stasiun ini menjadi simbol mobilitas, efisiensi, dan kontinuitas sejarah transportasi Indonesia.