POSKOTA.CO.ID - Gelombang penolakan dari kalungan seniman mengguncang jagad musik Indonesia. Sejumlah nama besar seperti Sukatani, Hindia, The Panturas, dan Petra Sihombing secara tegas menyatakan mundur dari festival musik ternama, Pestapora 2025.
Keputusan ini bukanlah hal sepele, melainkan sebuah tindakan yang dilakukan atas dasar keyakinan dan prinsip yang kuat. Pemicu dari aksi mundur massal ini adalah terungkapnya PT Freeport Indonesia sebagai sponsor utama gelaran tersebut.
Para musisi menolak untuk berdiri di atas panggung yang didanai oleh perusahaan yang mereka nilai memiliki rekam jejak kelam dalam merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua.
Aksi ini dengan cepat menjelma menjadi sebuah pernyataan politik dan lingkungan yang berani, mengubah pesta musik yang dinantikan menjadi medan pergulatan etika.
Baca Juga: Salma Salsabil dan Dimansyah Menikah Kapan? Dituding Hamil Duluan Usai Umumkan Anak Pertama
Pilihan untuk menarik diri bukan hanya tentang sebuah penampilan, melainkan bentuk solidaritas nyata dan kritik terhadap praktik bisnis yang dianggap eksploitatif dan merusak.
Dampak Lingkungan yang Tak Terbantahkan
Sejak beroperasi puluhan tahun lalu, PT Freeport Indonesia tidak pernah lepas dari sorotan akibat aktivitas pertambangannya. Data lapangan menunjukkan, setiap harinya lebih dari 300.000 ton limbah tailing dibuang ke sistem sungai di Mimika.
Praktik ini telah mengakibatkan pendangkalan sungai secara masif, menghancurkan ekosistem perairan, dan mematikan sumber kehidupan biota air.
Dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat adat setempat, khususnya Suku Amungme dan Kamoro, yang kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan dan petani tradisional.
Tidak hanya kehilangan sumber ekonomi, warga juga menghadapi krisis air bersih dan merebaknya penyakit kulit akibat tercemarnya sumber air.
Baca Juga: Anak Salma Salsabil Siapa? Geger Umumkan Namanya di Pestapora 2025 Usai 5 Bulan Hiatus
Klaim Mitigasi Freeport Dianggap Tidak Memadai
Di sisi lain, Freeport telah berulang kali menyatakan komitmennya terhadap lingkungan melalui berbagai program mitigasi. Mulai dari revegetasi, reklamasi lahan, hingga penanaman mangrove.
Perusahaan juga mengklaim bahwa operasinya telah diaudit sesuai standar nasional dan internasional berdasarkan prinsip good mining practice.
Namun, klaim-klaim tersebut dinilai tidak sebanding dengan bukti kerusakan yang terjadi di lapangan. Banyak laporan dari lembaga lingkungan independen yang menunjukkan bahwa program pemulihan yang dilakukan tidak mampu mengembalikan kondisi alam yang telah rusak parah.
Sebuah Tren Baru: Seniman sebagai Agen Perubahan
Pilihan para musisi untuk mundur dari Pestapora 2025 mencerminkan tren global di mana seniman semakin sadar akan tanggung jawab etis mereka.
Mereka tidak hanya ingin menghibur, tetapi juga memastikan bahwa nama dan karya mereka tidak terkait dengan entitas yang bermasalah.
“Ini adalah bentuk solidaritas nyata. Seniman memiliki pengaruh dan platform untuk menyuarakan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan lingkungan,” ujar pengamat musik budaya, Ahmad Sastra.
Baca Juga: DMD Panggung Rezeki Hadir Lebih Spesial: Saatnya Jadi Bintang Dangdut Dadakan
Keputusan para musisi ini telah memicu debat publik yang luas. Di media sosial, tagar #PestaporaTanpaFreeport menjadi trending, dengan netizen membagi dua kubu: yang mendukung penuh aksi protes ini dan yang mempertanyakan mengapa isu ini baru diangkat sekarang.
Yang jelas, aksi ini telah membuka mata banyak pihak: bahwa di era sekarang, isu lingkungan dan etika tidak bisa lagi diabaikan, termasuk di dunia hiburan.
Perusahaan mana pun yang ingin terlibat dalam acara publik harus siap dengan transparansi dan pertanggungjawaban atas operasi mereka.
Pestapora 2025, yang seharusnya menjadi pesta musik, justru berubah menjadi panggung perlawanan. Dan para senimanlah yang menjadi suaranya.