POSKOTA.CO.ID - Festival musik bukan hanya tempat hiburan. Ia menjadi ruang publik tempat pertemuan ide, nilai, dan sikap moral. Pestapora 2025, yang seharusnya menjadi perayaan kreativitas lintas genre, justru terseret dalam pusaran kontroversi sponsor.
Kerja sama dengan PT Freeport Indonesia memicu gelombang protes, hingga deretan musisi papan atas memilih angkat kaki dari panggung yang telah dijadwalkan.
Fenomena ini tidak sekadar soal siapa yang tampil dan siapa yang mundur. Lebih dalam, ia mencerminkan benturan antara dunia musik yang identik dengan kebebasan ekspresi dengan industri ekstraktif yang sarat kritik sosial.
Baca Juga: Link Cek Bantuan KJP Plus September 2025 untuk Siswa SMP, Dapat Uang Segini
Kontroversi Sponsor: Freeport dan Isu Lingkungan Papua
Mengapa PT Freeport menjadi isu sensitif? Perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia ini sering dikaitkan dengan perdebatan panjang soal dampak lingkungan, konflik lahan, dan isu hak asasi manusia di Papua.
Bagi banyak musisi, panggung musik bukan sekadar sarana mencari popularitas, melainkan medium menyuarakan keadilan. Ketika nama Freeport muncul sebagai mitra festival, dilema pun tak terhindarkan: apakah mereka harus tetap tampil demi penonton atau menjaga integritas moral dengan mundur?
Daftar Musisi yang Mundur dari Pestapora 2025
Sejumlah musisi besar dan band indie yang dikenal memiliki basis penggemar loyal mengumumkan mundur dari Pestapora. Di antaranya:
- Sukatani
- Leipzig
- Tarrkam
- Kelelawar Malam
- Rekah
- Petra Sihombing
- Hindia
- Xin Lie
- RRAG
- Pelteras
- Swellow
- The Cottons (hari ke-2 dan ke-3)
- Negatifa
- Feast
- Navicula
- Ornament
- The Jeblogs
- Centra HC
- Kenya
- Keep it Real
- Durga
Keputusan kolektif ini memperlihatkan adanya konsensus moral di kalangan seniman bahwa keterlibatan Freeport tidak bisa dianggap enteng.
Tanggapan Penyelenggara: Klarifikasi dan Permintaan Maaf
Direktur Festival Pestapora, Kiki Aulia Ucup, akhirnya buka suara. Ia menegaskan bahwa pihak penyelenggara memang sempat menjalin kerja sama dengan Freeport, namun “tidak ada sepeser pun aliran dana yang diterima dari PT Freeport Indonesia.”
Lebih jauh, Ucup mengakui adanya kelalaian dalam menyeleksi mitra. Pihaknya pun segera memutus kontrak kerja sama tersebut. Permintaan maaf ini menjadi penting, meski sebagian publik menilai keputusan itu terlambat karena kepercayaan musisi sudah lebih dulu goyah.
Bagi musisi, keputusan mundur dari festival besar bukan hal sepele. Ada kontrak, ekspektasi penonton, hingga potensi kehilangan panggung eksposur.
Namun, keputusan kolektif para musisi untuk mundur justru menegaskan bahwa seni bukan sekadar industri, melainkan ruang etis yang sarat nilai.
Di satu sisi, festival musik membutuhkan sponsor agar tetap berjalan. Di sisi lain, sponsor dengan reputasi kontroversial dapat meruntuhkan kredibilitas acara itu sendiri. Musisi akhirnya menjadi pihak yang mengambil risiko moral, meski konsekuensinya bisa merugikan karier jangka pendek.
Musik dan Etika: Bukan Sekadar Hiburan
Pestapora 2025 mengingatkan kita bahwa musik selalu terkait erat dengan realitas sosial. Lagu, lirik, bahkan festival bukanlah ruang hampa. Mereka merefleksikan situasi politik, lingkungan, dan kemanusiaan.
Dalam kasus ini, keengganan musisi tampil bersama nama Freeport menunjukkan bahwa seni masih memegang teguh etika. Bahwa popularitas, sponsor, dan sorotan media tidak seharusnya mengalahkan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan.
Mengapa Sponsor Bisa Jadi Penentu Reputasi Festival
Di era industri hiburan modern, sponsor menjadi tulang punggung pembiayaan. Namun, sponsor juga dapat menentukan reputasi acara. Ketika sponsor dianggap bertentangan dengan nilai publik atau komunitas seniman, kehadirannya bisa mengubah festival dari ruang perayaan menjadi ajang kontroversi.
Hal inilah yang terjadi di Pestapora 2025. Sponsor yang dipandang problematis bukan hanya menodai nama festival, tetapi juga memicu eksodus musisi. Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi pelajaran penting: memilih sponsor bukan sekadar urusan dana, melainkan juga soal integritas.
Baca Juga: iPhone 13: Spesifikasi, Keunggulan, dan Harganya di iBox Indonesia Bulan September 2025
Dampak bagi Publik dan Penonton
Bagi penonton, kabar mundurnya musisi idola tentu mengecewakan. Namun, di balik kekecewaan itu ada pelajaran berharga: bahwa panggung musik tidak netral. Ia bisa menjadi arena kritik sosial, tempat seniman menyuarakan sikap.
Dalam konteks Pestapora 2025, penonton diajak untuk lebih kritis. Tidak hanya menikmati musik, tetapi juga memahami mengapa musisi memilih mundur. Sikap ini bisa melahirkan kesadaran baru bahwa industri hiburan seharusnya berdiri di atas nilai-nilai yang lebih luas daripada sekadar keuntungan finansial.
Pestapora 2025 menjadi contoh nyata bagaimana seni berkelindan dengan isu lingkungan dan sosial. Mundurnya musisi bukan tanda melemahnya festival, melainkan justru memperlihatkan kekuatan etis komunitas seni di Indonesia.
Musik, pada akhirnya, adalah cermin. Ia merefleksikan keberanian, keberpihakan, dan juga perlawanan terhadap ketidakadilan. Dari sini, publik bisa melihat bahwa seniman masih memegang teguh peran sosialnya: bukan hanya menghibur, tetapi juga menyuarakan yang tak terucap.
Kontroversi Pestapora 2025 membuka mata banyak pihak bahwa industri hiburan tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab sosial. Sponsor, penyelenggara, musisi, dan penonton semuanya terikat dalam ekosistem yang membutuhkan kesadaran etis.
Ke depan, semoga festival musik di Indonesia bisa tetap meriah tanpa harus mengorbankan nilai kemanusiaan. Sebab, musik sejatinya adalah ruang kebebasan, tempat orang berkumpul, bergembira, sekaligus menyuarakan masa depan yang lebih adil.