POSKOTA.CO.ID - Indonesia sering disebut sebagai negara yang kaya kaya sumber daya alam, kaya budaya, dan tentu saja kaya pajak. Setiap aktivitas ekonomi, dari membeli makanan, bensin, hingga kendaraan bermotor, hampir tak ada yang luput dari pungutan negara.
Namun, pertanyaan besarnya apakah rakyat benar-benar merasakan manfaat dari pajak yang mereka bayarkan?
Kenyataan di lapangan memperlihatkan hal sebaliknya. Harga beras melambung, emas yang dahulu bisa dibeli dengan ratusan ribu kini menyentuh jutaan, sementara pendapatan masyarakat stagnan. Dalam kondisi seperti ini, pajak justru menjadi kata yang menakutkan bukan instrumen keadilan, melainkan simbol tekanan ekonomi.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Kuliner Viral di Jakarta 2025, Iga Panggang Panglima menjadi Destinasi Wajib
Pajak di Setiap Sendi Kehidupan
Melansir dari channel Youtube @Movid Indonesia, pajak hadir di hampir semua lini kehidupan. Gaji dipotong pajak, belanja kebutuhan sehari-hari dikenakan PPN, transportasi pun dikenai pajak tambahan.
Bahkan hiburan dan olahraga seperti gym dikategorikan sebagai sektor hiburan dan terkena pajak yang sama dengan karaoke atau tempat hiburan malam.
Ironisnya, aliran pajak triliunan rupiah itu sering kali terasa menguap tanpa bekas. Sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan yang seharusnya menjadi prioritas utama, belum sepenuhnya gratis atau merata. Di sinilah ketimpangan mulai terasa negara disebut kaya, namun rakyat tetap hidup sulit.
Pajak Emas: Aturan Baru 2025
Salah satu sorotan terbaru adalah kebijakan pajak emas yang diatur melalui PMK Nomor 51 & 52 Tahun 2025. Inti aturan ini adalah penarikan PPh Pasal 22 sebesar 0,25% bagi transaksi emas batangan melalui bullion bank atau pemain besar.
Poin penting kebijakan ini:
- Transaksi emas di bawah Rp10 juta dibebaskan dari pajak.
- Konsumen akhir, UMKM dengan PPh final, Bank Indonesia, dan transaksi melalui pasar fisik emas digital tidak dikenai PPh Pasal 22.
- Pajak hanya dikenakan pada pemain besar dengan transaksi kiloan emas.
Namun, meskipun konsumen akhir secara langsung dibebaskan pajak, harga emas tetap ikut terdongkrak. Pajak di level distributor atau pemain besar membuat harga jual ke masyarakat otomatis naik. Efek domino ini menghantam investor pemula yang ingin menabung emas dengan gramasi kecil.
Inflasi, Emas, dan Rakyat Kecil
Emas sering dianggap sebagai instrumen investasi paling aman, terutama di tengah gejolak inflasi. Namun, fakta terbaru menunjukkan paradoks.
Dulu dengan Rp500.000 seseorang bisa membeli 0,5 gram emas, kini harga yang sama hanya cukup untuk seperempat gram atau bahkan lebih kecil.
Inflasi menggerus daya beli, sementara pendapatan stagnan. Inilah sebabnya banyak rakyat kecil akhirnya menunda bahkan menghentikan investasi emas. Padahal, tujuan awal mereka sederhana: menabung untuk masa depan, melindungi diri dari ketidakpastian ekonomi.
Di sinilah kebijakan pajak emas menjadi kontroversi. Meski niat awal negara adalah menambah penerimaan fiskal, pada praktiknya rakyat kecil ikut terkena imbas lewat harga jual yang semakin mahal.
Perbandingan dengan Negara Lain
Sebagai pembanding, negara-negara maju seperti Swedia atau New Zealand mengenakan tarif pajak penghasilan tinggi, bahkan bisa mencapai 30–40%.
Namun, rakyat di sana rela membayar pajak besar karena manfaatnya terasa nyata pendidikan gratis, layanan kesehatan merata, hingga tunjangan pengangguran yang layak.
Sebaliknya, di Indonesia, bantuan sosial masih minim. Warga miskin menerima bantuan Rp300.000–500.000 per bulan, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu, kelas menengah yang kehilangan pekerjaan sering kali tidak mendapat bantuan sama sekali. Hal ini menimbulkan perasaan ketidakadilan rakyat merasa pajak hanya menjadi kewajiban tanpa balas jasa yang layak.
Pajak dan Rasa Ikhlas
Di titik ini, masalah pajak bukan lagi soal angka, melainkan soal rasa. Rakyat bisa ikhlas membayar pajak jika mereka melihat hasil nyata jalan mulus, sekolah gratis, rumah sakit terjangkau, dan lapangan kerja yang terbuka.
Tetapi ketika uang pajak justru dikaitkan dengan korupsi triliunan rupiah, bantuan yang tidak tepat sasaran, atau pemborosan untuk kelompok elite, kepercayaan rakyat pun runtuh.
Banyak masyarakat mengaku, tantangan terbesar bukanlah membayar pajak, tetapi mengikhlaskan pajak yang dibayarkan digunakan untuk hal-hal yang tidak adil. Di sinilah jurang kepercayaan semakin lebar.
Dampak bagi Investor Pemula
Bagi generasi muda atau investor pemula, kondisi ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, emas masih menjadi instrumen yang direkomendasikan untuk melawan inflasi. Namun di sisi lain, harga yang kian mahal membuat langkah pertama untuk berinvestasi terasa berat.
Mereka yang tadinya bisa menyisihkan Rp100.000 untuk membeli 0,1 gram emas, kini hanya mampu membeli 0,05 gram atau bahkan lebih kecil. Lama-lama, investasi emas hanya bisa dijangkau oleh kelas menengah atas, sementara rakyat kecil semakin terpinggirkan.
Pajak yang Adil dan Transparan untuk Membangun Peradaban
Diskusi tentang pajak pada akhirnya membawa kita pada satu kesimpulan: pajak adalah harga yang harus dibayar untuk membangun peradaban. Tetapi, harga itu harus sebanding dengan manfaat yang diterima.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar. Dengan penerimaan pajak yang triliunan rupiah setiap tahun, cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 bukanlah mimpi. Namun, semua itu hanya bisa terwujud jika:
- Pengelolaan pajak transparan dan bebas dari korupsi.
- Fokus pada kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan.
- Kebijakan fiskal berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya pada pemain besar atau kelompok elite.
Pajak bukanlah sekadar angka di slip gaji atau potongan di struk belanja. Pajak adalah cerminan hubungan antara rakyat dan negara. Jika negara mampu mengelola pajak dengan adil dan transparan, rakyat akan rela membayar dengan ikhlas.
Namun jika pajak hanya dirasakan sebagai beban, sementara manfaatnya jauh dari nyata, maka kepercayaan rakyat akan terkikis.
Indonesia memang kaya pajak. Tetapi cita-cita sesungguhnya adalah membuat rakyat kaya, bukan sekadar negara yang penuh penerimaan. Harapannya, kebijakan pajak termasuk pajak emas bisa menjadi instrumen keadilan, bukan sekadar mesin penerimaan fiskal.