POSKOTA.CO.ID - Jakarta sejak lama dikenal sebagai kota dengan tingkat inflasi dan biaya hidup yang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 mencatat bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga di ibu kota mencapai Rp14,8 juta per bulan.
Angka ini menempatkan Jakarta pada urutan pertama sebagai kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia, disusul oleh Bekasi (Rp14,3 juta) dan Surabaya (Rp13,3 juta).
Fakta ini menggarisbawahi jurang yang lebar antara biaya hidup dan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2024, yang hanya sekitar Rp5,06 juta per bulan.
Jika dihitung secara sederhana, gaji UMR hanya mencakup sepertiga dari total biaya hidup ideal. Kondisi ini jelas menimbulkan pertanyaan bagaimana cara pekerja swasta bertahan hidup dengan penghasilan terbatas?
Baca Juga: Cara Tukar Kode Redeem Roblox, Klaim Grow a Garden Redeem Codes di Sini
Potret Pekerja UMR di Jakarta
Melansir dari berbagai sumber, seorang pekerja swasta berusia 27 tahun, menggambarkan realitas pahit hidup di Jakarta. Meski gajinya sedikit di atas UMR, ia merasa kesulitan untuk menyeimbangkan kebutuhan primer dan keinginan pribadi.
“Di usia sekarang, saya ingin punya tabungan dan investasi. Tapi dengan gaji UMR, rasanya berat sekali,” ungkapnya.
Untuk menyiasati kondisi ini, ia memilih mengambil pekerjaan tambahan sebagai fotografer lepas di akhir pekan. Penghasilan tambahan tersebut menjadi penyangga agar ia tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus menyisihkan sedikit untuk tabungan.
Berbeda dengan pekerja lain, Seorang pekerja swasta memiliki pendekatan lain. Ia menekankan pentingnya menghindari sikap “gengsi”. Menurutnya, banyak pekerja muda yang merasa harus tampil sesuai standar pergaulan ibu kota, meski kemampuan finansial tidak mendukung.
“Hindari gengsi. Masih banyak cara kok buat hidup di Jakarta,” ujarnya singkat.
Baginya, kunci bertahan bukan sekadar menambah penghasilan, tetapi juga mengatur pola konsumsi agar tetap realistis.
Jurang Kesenjangan: UMR vs Biaya Hidup
Perbandingan antara gaji UMR dengan biaya hidup di Jakarta menjadi isu yang sering diperbincangkan. Dengan pengeluaran rata-rata Rp14,8 juta per bulan, seorang pekerja UMR harus memutar otak agar penghasilannya mencukupi.
Beberapa komponen pengeluaran terbesar di Jakarta antara lain:
- Hunian – biaya sewa kos atau apartemen di lokasi strategis bisa mencapai Rp2–6 juta per bulan.
- Transportasi – meski ada transportasi publik, biaya tetap bisa membengkak jika dikombinasikan dengan ojek online.
- Makanan – rata-rata makan di luar bisa menghabiskan Rp2–4 juta per bulan.
- Kebutuhan primer lainnya – listrik, internet, dan kebutuhan rumah tangga.
Kenyataan ini membuat banyak pekerja muda akhirnya menunda mimpi untuk memiliki rumah, kendaraan pribadi, atau investasi jangka panjang.
Strategi Bertahan Hidup di Jakarta dengan Gaji UMR
Meski berat, bertahan di Jakarta dengan gaji UMR bukanlah hal mustahil. Berikut beberapa strategi yang banyak dipraktikkan pekerja swasta:
1. Memilih Hunian Strategis
Hunian menjadi pos pengeluaran terbesar. Banyak pekerja muda memilih kos bersama atau kontrakan patungan untuk memangkas biaya. Lokasi dekat transportasi umum juga membantu mengurangi ongkos harian.
2. Mengatur Pola Konsumsi
Memasak sendiri dianggap lebih hemat dibanding selalu makan di luar. Dengan belanja bahan makanan di pasar tradisional atau warung grosir, pengeluaran bisa ditekan hingga 30%.
3. Menggunakan Transportasi Publik
TransJakarta, MRT, dan KRL menjadi solusi ekonomis dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi atau ojek online setiap hari.
4. Mencari Penghasilan Tambahan
Freelance, bisnis kecil-kecilan, hingga pekerjaan sampingan kreatif banyak dipilih untuk menambah pemasukan.
5. Menghindari Gaya Hidup Konsumtif
Sikap gengsi seringkali membuat pengeluaran membengkak. Mengurangi nongkrong di kafe atau belanja impulsif menjadi salah satu cara efektif.
6. Menyusun Anggaran dan Tabungan Darurat
Disiplin membuat catatan keuangan bulanan membantu pekerja untuk tetap mengontrol pengeluaran. Tabungan darurat minimal 10% dari gaji bisa menjadi penopang saat kondisi tak terduga.
Hidup di Jakarta sering diibaratkan seperti “berlari di treadmill.” Banyak orang datang dengan harapan bisa meraih karier cemerlang, namun akhirnya terjebak dalam lingkaran biaya hidup tinggi.
Bagi pekerja UMR, pilihan hidup di Jakarta bukan hanya soal logika finansial, tetapi juga ambisi personal. Ada yang rela mengorbankan kenyamanan demi peluang karier, ada pula yang memilih kembali ke kota asal karena merasa tak sanggup.
Kisah Aris dan Dapid mencerminkan dilema ini. Keduanya sama-sama berjuang, namun dengan cara yang berbeda: satu menambah pemasukan, satu lagi mengendalikan gaya hidup. Perspektif ini menunjukkan bahwa bertahan hidup di Jakarta bukan hanya soal angka, tetapi juga mentalitas dan strategi personal.
Baca Juga: Begini Cara Cek Penerima Bantuan KJP Agustus 2025 via Website dan Aplikasi JakOne
Masa Depan Generasi Muda di Jakarta
Pertanyaan besar muncul apakah generasi muda masih bisa membangun masa depan cerah di Jakarta dengan gaji UMR?
Jawabannya ya, tetapi dengan adaptasi tinggi. Mereka harus lebih fleksibel, kreatif, dan terbuka terhadap peluang digital. Banyak yang kini beralih ke pekerjaan remote, memanfaatkan teknologi untuk freelancing, atau bahkan merintis usaha kecil yang bisa dikerjakan dari rumah.
Peluang tetap ada, namun dibutuhkan kecerdasan finansial dan keberanian mengambil keputusan yang berbeda dari pola hidup konsumtif di kota besar.
Jakarta memang menawarkan banyak peluang, tetapi juga menghadirkan tantangan besar berupa biaya hidup yang tinggi. Dengan UMR yang jauh di bawah rata-rata pengeluaran, pekerja harus mengembangkan strategi bertahan hidup yang cerdas.
Kisah nyata Aris dan Dapid menunjukkan bahwa ada banyak jalan untuk tetap eksis di ibu kota: mulai dari mengambil pekerjaan tambahan, menekan pengeluaran, hingga menanggalkan gengsi.
Pada akhirnya, bertahan hidup di Jakarta bukan hanya tentang berapa besar gaji yang diterima, melainkan bagaimana cara mengelolanya, sikap mental yang dibangun, dan keberanian untuk beradaptasi dengan kerasnya realitas metropolitan.