Pemerintah Disebut Akan Batasi Layanan VoIP: Apa Itu VoIP dan Mengapa Bisa Dilarang? (Sumber: Pinterest)

TEKNO

WhatsApp, Zoom, dan Google Meet Terancam Dibatasi? Ini Penjelasan Lengkap Soal Wacana Pembatasan Layanan VoIP

Jumat 18 Jul 2025, 14:23 WIB

POSKOTA.CO.ID - Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP) menjadi tulang punggung komunikasi global.

Di tengah era digital yang serba terhubung, layanan seperti WhatsApp Call, Zoom, Google Meet, dan Telegram bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan pokok.

Namun, wacana yang dilontarkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) soal pembatasan layanan VoIP mengusik kenyamanan ini.

Baca Juga: Quotes Timothy Ronald: Kekayaan Dibangun oleh Disiplin dan Kesabaran, Bukan Kejeniusan Semata

Apa Itu Teknologi VoIP?

VoIP adalah teknologi yang memungkinkan pengguna melakukan panggilan suara dan video melalui internet, bukan jaringan telepon konvensional. Suara diubah menjadi sinyal digital, dikirimkan lewat internet, lalu dikonversi kembali menjadi suara di sisi penerima.

Ada empat bentuk utama dari teknologi VoIP:

  1. ATA (Analog Telephone Adapter) – Alat penghubung telepon analog ke jaringan internet.
  2. IP Phone – Telepon khusus yang terhubung langsung ke internet.
  3. Softphone – Aplikasi seperti WhatsApp, Zoom, Google Meet.
  4. WebRTC – Teknologi VoIP berbasis browser tanpa aplikasi tambahan.

Alasan Pemerintah: Ketimpangan Infrastruktur Digital

Denny Setiawan, Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Komdigi, mengungkapkan keprihatinannya tentang ketimpangan antara operator seluler dan penyedia layanan OTT (Over The Top) seperti WhatsApp dan Zoom. Menurutnya, operator harus mengeluarkan investasi besar untuk membangun infrastruktur, sementara OTT hanya “menumpang” tanpa kontribusi.

“Yang berdarah-darah bangun infrastruktur itu operator. OTT nggak kontribusi,” — Denny Setiawan, Komdigi

Reaksi Publik: Akses Komunikasi Bukan Hak Istimewa

Pernyataan Denny langsung memicu reaksi publik, terutama di media sosial. Banyak yang menilai bahwa wacana ini tidak adil karena rakyat justru sudah ikut menanggung beban pembangunan infrastruktur lewat:

Salah satu komentar yang viral menyebut:

“Masalahnya bukan di OTT-nya, tapi di transparansi dana infrastruktur itu sendiri. Dana USO kita malah sempat dikorupsi dalam kasus BTS Rp 6 triliun.” — @F2aldi, pengguna Twitter

Jika dilihat lebih jauh, wacana pembatasan VoIP tidak hanya bicara soal ketimpangan kontribusi. Ini menyentuh aspek yang lebih mendalam: keadilan digital.

Dalam dunia di mana informasi dan komunikasi menjadi hak dasar, pembatasan akses justru bisa membuka pintu ketidaksetaraan baru. Apalagi di era pasca pandemi, banyak aktivitas vital — dari sekolah, rapat kerja, hingga pelayanan publik — dilakukan lewat VoIP.

Ancaman terhadap Inklusivitas dan Inovasi

1. Gangguan terhadap Ekonomi Digital

Indonesia tengah mendorong transformasi digital dan ekonomi kreatif. Banyak pelaku usaha UMKM, freelancer, dan tenaga kerja remote yang mengandalkan VoIP untuk klien internasional. Pembatasan akan menurunkan daya saing mereka.

2. Pendidikan dan Kesehatan Terganggu

Sekolah daring dan telemedicine bergantung pada layanan seperti Zoom dan Google Meet. Jika dibatasi, masyarakat di wilayah terpencil akan kembali terisolasi secara digital.

3. Isu Censorship Terselubung

Sebagian pihak khawatir bahwa pembatasan ini menjadi pintu masuk bagi regulasi internet yang lebih ketat dan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat.

Alternatif Solusi yang Lebih Berkeadilan

Daripada membatasi akses, banyak pihak menyarankan pendekatan yang lebih progresif:

Belajar dari Negara Lain: Pembatasan Bukan Jawaban

Beberapa negara yang mencoba membatasi VoIP seperti Uni Emirat Arab atau Mesir justru menghadapi kritik internasional dan kerugian ekonomi. Sebaliknya, negara-negara seperti India dan Brasil memilih mengatur OTT lewat kebijakan perpajakan dan kolaborasi strategis tanpa membatasi akses.

Baca Juga: 5 Level Manusia dalam Game Kapitalisme Kehidupan Menurut Timothy Ronald

Suara dari Lapangan: “Kami Butuh Solusi, Bukan Sensor”

Bayu, seorang desainer grafis freelance asal Semarang, mengaku 90% kliennya berasal dari luar negeri.

“Saya komunikasi lewat Google Meet dan Zoom tiap hari. Kalau dibatasi, saya kehilangan pekerjaan. Masak pemerintah lebih mikirin untung operator daripada rakyat?” — Bayu, 32 tahun

Sementara itu, Fitri, guru honorer di Sumba Barat, mengatakan Zoom adalah satu-satunya jalan mengakses pelatihan daring.

“Kalau dibatasi, bagaimana kami bisa belajar dan mengajar dengan baik? Akses ini bukan mewah, tapi kebutuhan.” — Fitri, 27 tahun

Teknologi VoIP bukan sekadar alat. Ia adalah simbol dari demokratisasi komunikasi dan inklusi digital. Langkah membatasi akses terhadapnya, walau berdalih ketimpangan infrastruktur, justru berisiko menciptakan ketimpangan yang lebih besar: antara mereka yang bisa tetap terhubung dan mereka yang kembali terisolasi.

Pemerintah semestinya mencari solusi kolaboratif, bukan membatasi akses. Apalagi dalam konteks globalisasi digital, membuka akses komunikasi adalah investasi, bukan beban.

Tags:
kebijakan Komdigi VoIPWhatsApp Call Zoom Google Meetlayanan OTT dibatasi Kominfopembatasan VoIP Indonesia

Yusuf Sidiq Khoiruman

Reporter

Yusuf Sidiq Khoiruman

Editor