POSKOTA.CO.ID - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi pusat perhatian. Kali ini, bukan karena kebijakan, melainkan unggahan di media sosial yang memanfaatkan popularitas tarian Pacu Jalur, tradisi asli Kuantan Singingi, Riau.
Di Instagram, Gibran mengunggah video dirinya "berdansa" dengan gerakan khas penari cilik Pacu Jalur menggunakan teknologi AI. Ia tampak lincah mengikuti tren yang sedang booming di dunia digital.
Dalam caption-nya, ia menulis dengan gaya puitis:
"Siapa sangka, dari Kuantan Singingi, semangat Pacu Jalur bisa menyebar hingga ke dunia digital."
Ia juga menyebut fenomena ini sebagai bentuk diplomasi budaya di era modern:
"Klub-klub besar dan influencer global ikut merayakannya. Inilah bukti kekuatan diplomasi budaya di zaman digital..."
Reaksi Netizen: Sindiran hingga Kritik
Alih-alih mendapat pujian, aksi Gibran justru dibanjiri komentar pedas. Banyak warganet menudingnya sekadar memanfaatkan tren untuk pencitraan.
"Klasik, selalu ikut-ikutan yang viral. Besok mungkin ikutan joget tren random juga," komentar seorang netizen.
"Cari perhatian lagi. Dulu Jumbo Coffee, sekarang Pacu Jalur. Urusan rakyat nggak digarap, urusan konten selalu cepat," sindir akun lain.
Tak sedikit yang mengaitkan posisinya sebagai anak Presiden Jokowi:
"Kalau bukan anak presiden, apa bakal dapat perhatian sebanyak ini?"
Beberapa netizen juga menyelipkan sindiran halus dengan "pujian" berisi harapan jabatan:
"Wapres terhebat sepanjang masa... Bismillah direktur BUMN!"
"Keren banget, Pak Wapres! Semoga dapat proyek strategis!"
Kritik atas Penggunaan AI: Kurang Apresiasi Budaya
Selain soal pencitraan, banyak yang menilai penggunaan AI justru merusak esensi budaya Pacu Jalur. Tarian ini bukan sekadar tren, melainkan warisan bernilai sejarah dan spiritual.
Sebagian netizen menilai Gibran hanya menjadikan budaya sebagai alat eksistensi, bukan benar-benar mempromosikannya dengan penghayatan.
Baca Juga: Blunder? Akun IG Wapres Gibran Rakabuming Ketahuan Follow Akun Judol, Setwapres Beri Penjelasan
Budaya Bukan Sekadar Konten
Fenomena ini membuktikan publik semakin kritis membedakan antara apresiasi budaya dan aksi cari popularitas.
Diplomasi budaya di era digital memang penting, tapi harus dilakukan dengan kesungguhan dan pemahaman mendalam bukan sekadar ikut arus viral.