POSKOTA.CO.ID - Di balik berbagai kemajuan teknologi dan gaya hidup perkotaan yang semakin modern, ada sebagian wilayah bumi yang tetap bersikukuh menjadi rumah bagi komunitas manusia, meskipun kondisi alamnya ekstrem dan tidak bersahabat.
Fenomena ini membuktikan daya lenting dan adaptasi manusia terhadap lingkungan keras yang bagi kebanyakan orang mungkin tak terpikirkan sebagai tempat tinggal permanen.
Berikut ulasan mendetail mengenai sepuluh lokasi paling tidak ramah bagi manusia namun tetap dihuni, lengkap dengan karakteristik geografis, tantangan sehari-hari, serta alasan mengapa penduduk bertahan di sana.
Baca Juga: Harga Beras Naik, DPRD Desak Pemprov Jakarta Benahi Rantai Pasok dan Awasi Penimbunan
1. Norðurfjörður, Islandia
Desa terpencil Norðurfjörður terletak di wilayah Westfjords, ujung barat laut Islandia. Kurang dari 50 orang menghuni daerah ini. Kehidupan sehari-hari diwarnai keterbatasan infrastruktur: hanya satu toko yang menyediakan kebutuhan pokok, koneksi internet dan telepon sering terputus, serta jalan yang tertutup salju selama berminggu-minggu.
Penduduk wajib menyiapkan persediaan makanan dan bahan bakar dalam jumlah besar, karena distribusi logistik bisa terhenti sewaktu-waktu akibat badai salju. Walau tampak menantang, komunitas di sini memiliki solidaritas tinggi dan ikatan sejarah panjang dengan wilayah pesisir Islandia.
2. Erdenet, Mongolia
Erdenet adalah salah satu kota tambang terbesar di Asia Tengah yang menyumbang sekitar 20% Produk Domestik Bruto Mongolia. Kota ini dikelilingi tambang tembaga raksasa yang setiap hari menghasilkan debu putih pekat.
Suhu musim dingin sering turun hingga -40°C. Air bersih harus dipompa dari lokasi yang jauh, sementara pembangunan sektor non-tambang berjalan lambat karena iklim keras. Namun, lapangan kerja di pertambangan menjadi penopang utama ekonomi lokal, sehingga ribuan keluarga memilih tetap tinggal meski kondisi udara kurang sehat.
3. Ittoqqortoormiit, Greenland
Desa Ittoqqortoormiit terletak dekat Kutub Utara, menjadikannya salah satu pemukiman manusia paling terpencil di bumi. Sekitar 350 penduduk menjalani kehidupan yang nyaris tak berubah sejak ratusan tahun lalu: berburu, memancing, dan menggantungkan hidup pada musim es.
Setiap tahun, kawasan ini mengalami polar night, periode kegelapan total selama berbulan-bulan, serta suhu ekstrem hingga -40°C. Transportasi hanya tersedia melalui helikopter atau kapal yang datang beberapa kali dalam setahun. Bagi masyarakat Greenland, keberadaan di sini memiliki nilai budaya dan sejarah yang dalam.
4. Dakhla Oasis, Mesir
Terletak di tengah Gurun Barat Mesir, Dakhla Oasis menjadi contoh lain bagaimana manusia mampu bertahan di suhu ekstrim yang mencapai 47°C pada musim panas. Angin gurun kerap membawa badai pasir yang memutus jalur transportasi.
Sumber air terbatas dan listrik bergantung pada generator yang rawan padam. Pendidikan dan layanan kesehatan sangat minim. Namun, oasis ini menyimpan nilai historis karena pernah menjadi jalur perdagangan penting di era Mesir Kuno.
5. Longyearbyen, Norwegia
Kota Longyearbyen di Svalbard terkenal sebagai pemukiman paling utara di dunia. Selama musim panas, matahari tak pernah terbenam (fenomena midnight sun), sedangkan musim dingin membuat kawasan ini terperangkap kegelapan total hingga empat bulan.
Populasi sekitar 2.500 orang hidup dalam kewaspadaan tinggi karena ancaman serangan beruang kutub. Uniknya, warga dilarang meninggal di sini karena tanah yang selalu beku tak memungkinkan proses pembusukan jenazah. Siapa pun yang sakit parah harus dipindahkan ke daratan utama Norwegia.
6. Ifrane Atlas Saghir, Maroko
Desa terpencil ini pernah menjadi pusat komunitas Yahudi Maroko. Kini, Ifrane Atlas Saghir hanya dihuni segelintir keluarga yang bertahan dalam kondisi ekstrem: suhu siang hari mencapai 45°C, tanah yang retak akibat kekeringan, serta jaringan listrik yang sering mati.
Air bersih hanya tersedia pada musim tertentu, membuat penduduk sangat bergantung pada sumur tradisional. Meski demikian, nilai sejarah dan kebanggaan leluhur mendorong sebagian warga tetap bertahan.
7. Norilsk, Rusia
Norilsk adalah kota tambang nikel yang dibangun di atas permafrost Siberia. Pernah menjadi lokasi kamp kerja paksa pada era Stalin, Norilsk kini dihuni lebih dari 175.000 penduduk yang sebagian besar bekerja di industri pertambangan logam.
Suhu bisa turun hingga -55°C, sementara salju hitam dan kabut polusi menjadi pemandangan sehari-hari. Kota ini tercatat sebagai salah satu wilayah dengan polusi tertinggi di dunia. Meski risiko kesehatan tinggi, gaji besar dan fasilitas perumahan subsidi membuat banyak keluarga bertahan.
8. Wadi Halfa, Sudan
Wadi Halfa adalah kota gurun yang suhu rata-ratanya berkisar antara 40–50°C. Curah hujan hampir nihil sepanjang tahun. Air bersih sangat langka sehingga harus dipompa dan diangkut dari wilayah lain.
Kondisi kesehatan masyarakat diperburuk badai pasir yang rutin datang membawa debu halus penyebab gangguan pernapasan. Ketergantungan pada bantuan pangan dan pasokan medis membuat penduduk menjalani kehidupan yang sarat perjuangan.
9. Tristan da Cunha, Samudra Atlantik
Pulau vulkanik Tristan da Cunha merupakan wilayah berpenghuni paling terpencil di dunia. Lokasinya sekitar 2.400 km dari Afrika Selatan dan hanya bisa dijangkau kapal yang berlayar selama seminggu penuh.
Penduduknya tidak lebih dari 250 orang. Tidak ada bandara, sehingga situasi darurat medis pun sangat sulit ditangani cepat. Ketahanan komunitas yang kuat menjadi kunci kelangsungan hidup mereka di pulau terpencil ini.
10. Whittier, Alaska, Amerika Serikat
Whittier terkenal karena hampir seluruh populasinya sekitar 200 orang tinggal dalam satu gedung besar bernama Begich Towers. Kota ini kerap diguyur hujan hingga 200 hari setahun.
Terowongan sepanjang 4 km yang membelah gunung menjadi satu-satunya jalur darat yang bisa diakses. Semua fasilitas vital mulai dari sekolah, kantor pos, klinik, hingga supermarket berada dalam gedung yang sama. Meski tampak aneh, konsep ini memungkinkan efisiensi logistik dan perlindungan dari cuaca ekstrem.
Baca Juga: Kapal Bocor di Pulau Semak Daun, 7 Nelayan Dievakuasi
Kekuatan Adaptasi Manusia
Kisah sepuluh lokasi ekstrem ini menggambarkan bahwa kemajuan teknologi bukan satu-satunya faktor penentu kualitas hidup. Solidaritas komunitas, nilai sejarah, serta tekad untuk mempertahankan identitas budaya menjadi alasan utama mengapa sebagian masyarakat tetap tinggal di tempat yang tampak mustahil untuk dihuni.
Dari badai pasir Wadi Halfa hingga kegelapan abadi di Ittoqqortoormiit, manusia terus menunjukkan kemampuan luar biasa untuk beradaptasi.
Meski risiko kesehatan dan keterbatasan fasilitas menjadi tantangan berat, keberadaan komunitas-komunitas ini menjadi bukti nyata ketahanan manusia terhadap alam yang tak selalu bersahabat.