POSKOTA.CO.ID - Bagi sebagian orang, berbohong sering kali dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan atau mewujudkan keinginan tertentu. Tak hanya dianggap sebagai metode yang efektif, berbohong pun sering kali terasa lebih mudah dilakukan daripada berkata jujur.
Sebagai kebalikan dari kejujuran yakni berkata atau bersaksi sesuai kenyataan,berbohong berarti menyembunyikan atau memutarbalikkan kebenaran.
Tindakan menipu atau menyembunyikan fakta dari orang lain bisa muncul karena berbagai alasan yang erat kaitannya dengan kondisi psikologis seseorang. Pada masa kanak-kanak, berbohong biasanya timbul sebagai upaya perlindungan diri, seperti karena rasa takut atau untuk menghindari konsekuensi dari kesalahan.
Namun tak hanya karena rasa takut, kebiasaan berdusta juga bisa didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pujian, pengakuan dari orang lain, atau untuk menghindari rasa malu.
Meskipun tampak sepele di awal, kebiasaan memanipulasi kenyataan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dapat berdampak negatif bagi kesehatan mental dalam jangka panjang.
Pandangan ini disampaikan oleh dr. Lahargo Kembaren, SpKJ, seorang dokter spesialis kejiwaan, yang menyebut bahwa kebiasaan berbohong sejak dini dapat terbentuk sebagai pola yang berlanjut hingga dewasa.
Lebih dari sekadar kebiasaan pribadi, tindakan menyembunyikan kebenaran bisa mengganggu relasi sosial seperti hubungan keluarga, persahabatan, bahkan dinamika masyarakat luas. Meski awalnya berbohong dilakukan demi mempertahankan harga diri, kebiasaan ini dapat merusak karakter serta mengganggu keseimbangan jiwa pelakunya.
"Jika berbohong terus dilakukan sebagai bentuk perlindungan diri, lama-lama bisa berkembang menjadi nilai hidup orang tersebut," ungkap dr. Lahargo.
Baca Juga: Kenali Pentingnya Memahami dan Menjaga Kesehatan Mental pada Remaja
Kebiasaan berdusta yang terbentuk sejak kecil dan terus berlanjut hingga dewasa, menurutnya, bisa berkembang menjadi bentuk gangguan kepribadian, seperti gangguan kepribadian antisosial, borderline (BPD), hingga narsistik.
Orang-orang yang mengalami gangguan ini tak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga berpotensi membawa pengaruh negatif pada lingkungan sekitar.
Dalam spektrum yang lebih ekstrem, individu yang terbiasa berbohong bisa menunjukkan perilaku tidak seimbang, seperti memaksakan kehendak bahkan melakukan tindakan yang menyakiti orang lain.
Salah satu bahaya lainnya adalah sifat adiktif dari kebohongan. Seseorang yang terbiasa berbohong bisa mengalami ketergantungan dan merasa terdorong untuk terus meningkatkan frekuensi maupun intensitas kebohongannya.
“Dopamin yang dilepaskan saat berbohong bisa memicu perilaku kompulsif atau pengulangan yang membuat pelaku merasa senang,” jelasnya dalam sebuah wawancara di kanal YouTube.