Para atlet muda ini, yang digadang-gadang akan menjadi harapan Indonesia di ajang Youth Olympic Games 2026, justru harus dipulangkan dari pemusatan latihan nasional (Pelatnas) oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Alasan yang diberikan pun cukup mengejutkan, efisiensi. Para atlet yang telah mengorbankan waktu sekolah dan menjalani persiapan intensif selama delapan bulan ini dipulangkan hanya dalam waktu satu hari setelah pemberitahuan via Zoom.
Ini menunjukkan betapa rentannya posisi atlet, terutama dari cabor yang "kurang populer," di mata kebijakan pemerintah.
Puncak kritik Lindswell Kwok adalah perbandingan anggaran yang ia sajikan secara gamblang. Ia mengundang publik untuk mengecek sendiri alokasi anggaran masing-masing cabor.
Fakta yang ia ungkapkan sungguh mencengangkan: anggaran untuk sepak bola mendekati Rp200 miliar, sementara cabor lain hanya berkisar antara Rp10-30 miliar.
"Jauh gak? Merata tidak?" tanyanya retoris, menyoroti disparitas yang begitu besar. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan prioritas dan perhatian yang tidak seimbang dari pemerintah.
Bagi Lindswell, kesenjangan ini menjadi bukti nyata bahwa keberhasilan di dunia olahraga Indonesia tidak selalu diiringi dengan dukungan yang setara, terutama bagi cabor yang tidak memiliki daya tarik komersial sebesar sepak bola.
Baca Juga: Jungkook Pulang Wamil Kapan? Ini Jadwal Comeback BTS 2025 yang Ditunggu ARMY
Padahal, banyak cabor lain yang secara konsisten menyumbang medali dan mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
Kritikan ini semakin ramai diperbincangkan publik, terutama setelah munculnya isu hadiah jam tangan mewah, Rolex, yang disebut-sebut diberikan kepada para pemain Timnas Indonesia.
Publik melihat adanya ironi yang mendalam: di satu sisi ada kemewahan dan penghargaan berlimpah untuk satu cabor, sementara di sisi lain, atlet-atlet muda dari cabor lain harus menghadapi kenyataan pahit karena keterbatasan anggaran.