Ia mempertanyakan keadilan dalam sistem apresiasi, mengingat masih banyak cabor lain yang telah mencetak prestasi maksimal namun nyaris tak mendapat perhatian atau dukungan setara dari pemerintah.
Menurutnya, tidak seharusnya apresiasi hanya diberikan karena cabornya populer atau memiliki banyak penggemar.
Lindswell juga menyoroti kasus yang menimpa atlet wushu junior yang dipersiapkan Kemenpora untuk ajang Youth Olympic Games 2026.
Baca Juga: Rumor Transfer Persija Makin Panas, Benarkah Thom Haye Merapat Usai Laga Timnas Indonesia vs Jepang?
Mereka yang sudah meninggalkan rumah dan sekolah demi mengikuti pelatnas selama delapan bulan justru dipulangkan secara sepihak melalui Zoom, dengan alasan efisiensi anggaran.
Padahal, mereka dipanggil oleh negara, diseleksi secara resmi, dan telah mengorbankan banyak hal.
Perlakuan ini dinilainya tidak manusiawi dan mencerminkan buruknya manajemen serta ketidakpedulian terhadap pengorbanan atlet muda.
Ia juga membandingkan anggaran cabor, di mana sepak bola disebut mendapat hampir 200 miliar rupiah, sementara cabor lain hanya menerima 10–30 miliar.
Perbedaan ini dianggap mencolok dan tidak mencerminkan keadilan dalam pembinaan olahraga nasional.
Lindswell menekankan bahwa kritik ini bukan ditujukan kepada sesama atlet atau penggemar sepak bola, melainkan kepada pemerintah agar melakukan evaluasi sistemik dan memperbaiki pola distribusi fasilitas serta penghargaan.