POSKOTA.CO.ID - Konflik militer Israel di Jalur Gaza yang dimulai sejak Oktober 2023 kini telah memasuki tahun kedua. Dampaknya tidak hanya terasa di kalangan warga sipil Palestina, tetapi juga mulai terlihat pada kesiapan tempur pasukan Israel sendiri.
Berdasarkan laporan media lokal yang dikutip Anadolu Agency pada Jumat, 6 Juni 2025, militer Israel menghadapi tantangan logistik serius akibat penurunan fungsi peralatan militer yang digunakan secara terus-menerus dalam operasi lapangan.
Harian Israel Maariv mengungkapkan bahwa para prajurit, komandan kompi, dan perwira senior melaporkan adanya kerusakan signifikan pada tank, kendaraan lapis baja, serta persenjataan lainnya.
Keterangan tersebut terutama datang dari unit yang beroperasi secara intensif di Gaza, seperti Brigade Lapis Baja ke-7.
Baca Juga: Kredivo Tidak Bisa Dibuka Hari Ini? Ini 7 Langkah Cepat Mengatasinya yang Wajib Dicoba
Tank Usang dan Komponen yang Semakin Langka
Menurut laporan Maariv, Brigade Lapis Baja ke-7 mengalami kesulitan serius dalam mendapatkan suku cadang penting seperti mesin, rel, dan sistem kontrol. Seorang perwira senior yang tidak disebutkan namanya menjelaskan bahwa unit mereka telah beroperasi tidak hanya di Gaza, tetapi juga di Lebanon dan Suriah.
Akibatnya, kendaraan tempur tidak pernah mendapatkan perawatan yang layak dan terus digunakan tanpa jeda.
“Kami telah berperang hampir dua tahun. Setiap komponen memiliki batas usia pakai, dan sekarang kami mulai mencapai batas itu,” ujar sang perwira.
Krisis suku cadang ini tidak hanya terbatas pada satu brigade. Unit-unit lain dalam divisi lapis baja, artileri, dan infanteri reguler juga dilaporkan menghadapi masalah serupa.
Ketergantungan pada sistem persenjataan berat tanpa pembaruan atau penggantian memicu degradasi fungsi yang mengancam efektivitas misi militer.
Kecelakaan Akibat Kegagalan Sistem
Situasi menjadi semakin rumit ketika kerusakan teknis memicu insiden berbahaya di medan tempur. Maariv melaporkan sebuah insiden di mana meriam tank milik Brigade Givati mengalami overheat (panas berlebih) hingga menyebabkan kebakaran di lingkungan Jabalia, Gaza utara.
Truk pemadam kebakaran yang dikerahkan untuk mengatasi api kemudian menjadi sasaran serangan mendadak oleh pejuang Hamas menggunakan alat peledak rakitan.
Insiden tersebut menewaskan tiga tentara Israel dan melukai dua lainnya secara serius. Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan teknis pada sistem militer dapat berdampak fatal tidak hanya terhadap keberhasilan operasi, tetapi juga keselamatan personel militer di lapangan.
Keengganan Gencatan Senjata dan Tanggapan Internasional
Meskipun menghadapi tekanan logistik internal, pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tetap menolak seruan internasional untuk melakukan gencatan senjata.
Sejak dimulainya operasi pada Oktober 2023, hampir 54.700 warga Palestina telah kehilangan nyawa, sebagian besar di antaranya adalah wanita dan anak-anak.
Badan-badan bantuan internasional juga telah mengeluarkan peringatan serius tentang risiko kelaparan massal yang mengancam lebih dari dua juta warga di Jalur Gaza akibat blokade dan penghancuran sistem distribusi pangan.
Tuduhan Genosida dan Proses Hukum Internasional
Dalam perkembangan hukum internasional, pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida yang diajukan di Mahkamah Internasional (ICJ). Gugatan ini menuduh Israel secara sistematis melakukan pembunuhan massal terhadap warga sipil dan melanggar Konvensi Genosida PBB.
Dilema Strategis: Perang Tanpa Arah dan Sumber Daya Menipis
Secara strategis, perang yang berkepanjangan tanpa kemenangan yang jelas mulai memperlihatkan beban yang signifikan terhadap kemampuan bertempur Israel. Kekurangan suku cadang, meningkatnya kerusakan peralatan, serta penurunan moral pasukan menjadi sinyal bahwa dominasi militer tidak serta-merta menjamin keberhasilan operasional jangka panjang.
Dalam analisis militer, ketergantungan berlebihan terhadap teknologi tinggi justru bisa menjadi kelemahan jika tidak didukung dengan logistik dan pemeliharaan yang memadai. Israel, yang selama ini dikenal dengan kekuatan militernya yang canggih, mulai memperlihatkan celah dalam aspek ini.
Kondisi yang dihadapi militer Israel saat ini menjadi contoh nyata bagaimana perang berkepanjangan dapat mengikis bukan hanya sumber daya manusia, tetapi juga infrastruktur militer yang dianggap kuat.
Krisis logistik, kekurangan suku cadang, dan kerusakan peralatan berat seperti tank dan kendaraan lapis baja kini menjadi tantangan internal yang serius.
Sementara tekanan internasional meningkat akibat tingginya angka kematian warga sipil Palestina dan tuduhan genosida, pemerintah Israel terus melanjutkan operasi militer tanpa kejelasan kapan akan berakhir.
Situasi ini bukan hanya memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, tetapi juga menyoroti pertanyaan besar mengenai efektivitas dan tujuan dari konflik bersenjata berkepanjangan yang kini mulai memakan korban di kedua sisi.