POSKOTA.CO.ID - Porsi outstanding pembiayaan fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online mengalami penurunan per Maret 2025.
Khusus untuk segmen produktif seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), jumlah pembiayaan tercatat hanya Rp18,09 triliun atau setara dengan 35,10% dari total pinjaman yang disalurkan industri. Angka ini menurun dibandingkan posisi Januari dan Februari 2025.
Fenomena ini tidak lepas dari kondisi ekonomi Indonesia yang belum stabil. Ketidakpastian ekonomi yang terus berlangsung membuat banyak pelaku usaha mengalami penurunan permintaan.
Akibatnya, risiko gagal bayar meningkat, khususnya pada pembiayaan produktif yang notabene memiliki jangka waktu dan risiko lebih panjang dibandingkan pembiayaan konsumtif.
Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan bahwa penurunan ini merupakan refleksi dari sikap hati-hati yang diterapkan para lender. Menurutnya, ketika dunia usaha melemah, maka lender akan menahan diri untuk menyalurkan dana ke sektor produktif yang dianggap berisiko tinggi.
"Ketika usaha sedang turun permintaan, kasus gagal bayar akan meningkat. Risiko ini yang membuat lender akan berhati-hati dalam menyalurkan pendanaannya. Lender pasti penuh perhitungan akan risiko gagal bayar," tegas Huda dalam pernyataannya, Kamis, 15 Mei 2025.
Ketimpangan Daya Tarik antara Sektor Konsumtif dan Produktif
Selain faktor risiko, Huda juga menyoroti bahwa bunga pinjaman pada sektor produktif cenderung lebih rendah dibandingkan sektor konsumtif.
Kondisi ini berkontribusi pada rendahnya insentif bagi perusahaan fintech untuk menyalurkan dana ke sektor produktif. Secara sederhana, sektor konsumtif menjanjikan margin keuntungan yang lebih besar dengan risiko yang dapat dikendalikan melalui model pendekatan perilaku konsumen.
“Secara perhitungan bisnis, sektor konsumtif lebih menguntungkan. Wajar bila penyedia P2P lending lebih agresif di sana,” tambah Huda.
Padahal, otoritas regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki visi besar untuk mendorong kontribusi pembiayaan sektor produktif melalui P2P lending.
Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) 2023–2028 menargetkan agar penyaluran pinjaman online ke sektor UMKM mencapai kisaran 50–70% pada tahun 2027–2028.
Namun melihat realisasi hingga Maret 2025, target tersebut tampaknya akan sulit tercapai apabila tidak ada terobosan baru dalam pendekatan pembiayaan. Ketergantungan pada sektor konsumtif dinilai terlalu tinggi, sementara permintaan dari sektor produktif terus terbentur kendala akses, penilaian risiko, dan minat investor.
"Jika kondisi ekonomi terus seperti ini, saya ragu proporsi penyaluran sektor produktif mencapai 50–70% di 2028. Sangat sulit tercapai," ujar Huda secara realistis.
Solusi Struktural: Credit Scoring dan Kepercayaan Lender
Untuk membalikkan situasi ini, diperlukan reformasi mendalam dalam sistem penyaluran pembiayaan produktif oleh industri P2P lending. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah penyempurnaan sistem credit scoring atau penilaian kelayakan kredit.
Selama ini, banyak pelaku usaha produktif terutama UMKM tidak memiliki dokumen pendukung yang lengkap, seperti laporan keuangan atau catatan perpajakan. Hal ini menyulitkan platform pinjol untuk mengukur risiko secara akurat.
Selain itu, penting juga membangun kepercayaan para lender. Tanpa kepercayaan bahwa dana mereka akan kembali dengan risiko minimal, tidak akan ada insentif yang kuat untuk mendanai segmen produktif.
"Ketika risiko rendah, saya rasa akan meningkatkan rasa percaya terhadap industri. Ketika percaya, penyaluran pembiayaan akan meningkat," tegas Huda.
Langkah-langkah seperti penggunaan data alternatif (alternate data) dari aktivitas digital UMKM, pembentukan ekosistem kolaboratif dengan lembaga pendamping UMKM, dan sistem pengawasan real-time terhadap borrower menjadi sangat penting.
Institusi Perbankan Meningkatkan Peran sebagai Lender
Di tengah minimnya minat lender individu, tren yang mencuat adalah meningkatnya partisipasi institusi keuangan, terutama perbankan, dalam skema pendanaan P2P lending.
Menurut Huda, sektor perbankan melihat peluang pembiayaan produktif sebagai alternatif investasi dengan bunga yang relatif tinggi, tanpa perlu proses assessment yang rumit karena diserahkan kepada platform fintech.
"Maka dari itu, terjadi peningkatan share lender institusi perbankan terhadap total penyaluran dana [P2P lending]," pungkasnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat potensi besar bila industri fintech dapat menjalin kemitraan strategis dengan perbankan untuk menyalurkan dana secara lebih luas ke sektor produktif.
Baca Juga: Pemprov Jakarta Hidupkan Rumah Si Pitung Melalui Pameran dan Festival Budaya
Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan
Sejumlah tantangan utama masih harus diselesaikan:
- Risiko gagal bayar tinggi pada sektor produktif akibat ketidakpastian ekonomi.
- Kurangnya minat lender karena margin rendah dan risiko tinggi.
- Target OJK yang ambisius belum didukung infrastruktur ekosistem pendukung.
- Keterbatasan data pada UMKM yang menyulitkan proses credit scoring.
Untuk menjawab tantangan tersebut, artikel ini merekomendasikan:
- Insentif fiskal dan nonfiskal bagi lender yang menyalurkan dana ke sektor produktif.
- Integrasi data UMKM lintas kementerian untuk memperkuat credit profiling.
- Program edukasi risiko bagi lender individu agar mereka memahami pentingnya mendukung sektor riil.
- Kerja sama lintas sektor, termasuk dengan BUMN pembina UMKM dan inkubator bisnis.
Penurunan pembiayaan fintech P2P lending ke sektor produktif pada Maret 2025 adalah cerminan dari tantangan struktural dalam industri pendanaan digital Indonesia.
Meski peta jalan OJK telah memberi arah yang jelas, tanpa perbaikan menyeluruh dalam sistem penyaluran, penilaian risiko, dan dukungan regulatif, target 50–70% pada 2027–2028 bisa menjadi ilusi belaka.
Namun demikian, peluang tetap terbuka. Ekonomi digital yang inklusif harus menjadikan pembiayaan produktif sebagai tulang punggung, bukan sekadar pelengkap. Dan untuk itu, kolaborasi antara regulator, fintech, lender, dan UMKM adalah kunci utama menuju perubahan yang berkelanjutan.