Kopi Pagi: Meluruskan Benang Kusut. (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi

Kopi Pagi: Meluruskan Benang Kusut

Kamis 08 Mei 2025, 08:44 WIB

“..segala persoalan sejatinya bisa diawali penyelesaiannya dengan kata maaf dan saling memaafkan. Duduk semeja bicara dari hati ke hati merumuskan solusi, ketimbang komen dari layar yang berpotensi menimbulkan distorsi. Mari satukan langkah membangun bangsa melalui aksi nyata..”

-Harmoko-

Halal bihalal menjadi agenda rutin yang digelar masyarakat di bulan Syawal, usai Hari Raya Idul Fitri. Halal bihalal, menjadi tradisi yang terus berkembang hingga saat ini, kadang menjadi ajang "open house", yang dilakukan sebuah rumah, instansi, atau institusi mengundang warga masyarakat untuk datang bersilaturahmi.

Halal bihalal juga digelar oleh paguyuban, kelompok reuni, organisasi sosial dan partai politik untuk berkomunikasi secara langsung bagi para anggotanya melalui tatap muka, bersalaman untuk saling memaafkan itulah esensi dari halal bihalal.

Dalam perkembangannya, makna halal bihalal memiliki cakupan yang lebih luas, tak sebatas bertemu muka, bersalaman dan saling memaafkan. Tetapi berbuat baik secara berkelanjutan kepada orang yang telah melakukan kesalahan. Menyambung hubungan yang putus akibat sebuah konflik dengan menghapus kesalahan masa lalu guna membangun semangat baru mewujudkan keharmonisan.

Cukup beralasan sekiranya ada yang memaknai halal bihalal sebagai sarana menyelesaikan problem, kesulitan, hambatan dan tantangan. Mengurai atau meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, melepaskan ikatan yang membelenggu baik dalam kehidupan antarindividu, kehidupan sosial dan politik, pemerintahan dan ketatanegaraan.

Merujuk ke belakang, halal bihalal memiliki sejarah sendiri di negeri kita, mengingat tradisi ini tidak ditemukan di negara-negara lain. Sejumlah sumber menyebutkan halal bihalal sudah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (1757).

Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Acara sungkeman, saling memaafkan antara raja dengan rakyatnya.

Sumber lain menyebutkan, pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi yang dikemas dengan nama halal bihalal.

Kita tahu, saat itu antar-pemimpin politik masih memiliki konflik. Melalui halal bihalal itulah, para tokoh politik duduk satu meja bukan membicarakan konflik, tetapi merapatkan barisan, menyusun kekuatan dan persatuan demi masa depan bangsa.

Konflik politik luluh dengan sendirinya, benang kusut yang membelit karena konflik politik terurai karena tadi, halal bihalal. Melalui halal bihalal, ego pribadi dan kelompok serta kepentingan politik tersingkirkan, yang mencuat adalah kepentingan bersama membangun bangsa.

Tidak berlebihan jika halal bihalal yang digelar partai politik, tokoh bangsa melalui ‘open house’ atau bentuk lainnya memiliki makna positif, setidaknya untuk mencairkan kebekuan komunikasi yang terjadi selama ini.

Halal bihalal memiliki peran strategis untuk menyelesaikan segala persoalan bangsa dan negara. Dapat merajut kembali benang yang putus, meluruskan benang kusut serta langkah awal mengurai beragam problema yang dilandasi adanya kesepahaman dan komitmen dan cita-cita yang sama dalam membangun bangsa.

Tak ada yang salah dengan silaturahmi, sering disebut pula silaturahmi yang dikemas melalui halal bihalal tak akan pernah salah. Karenanya kita patut mengapresiasi halal bihalal, termasuk yang digelar purnawirawan TNI-Polri yang dihadiri Presiden Prabowo Subianto, petinggi TNI-Polri, serta sejumlah menteri Kabinet Merah Putih.

Tidak bermaksud menafsirkan, tetapi halal bihalal ini memiliki makna strategis, di tengah sejumlah isu, di antaranya seputar usulan para jenderal purnawirawan kepada pemerintah, yang kini sedang menjadi perbincangan publik.

Saling memaafkan telah dilontarkan secara terbuka. Komitmen mengawal pemerintahan Prabowo Subianto pun telah disampaikan sebagai bentuk konsistensi membangun masa depan bangsa lebih baik lagi. Mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana tujuan negeri ini didirikan.

Yang hendak kami sampaikan adalah segala persoalan sejatinya bisa diawali penyelesaiannya dengan kata maaf dan saling memaafkan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Duduk semeja bicara dari hati ke hati merumuskan solusi, ketimbang komen dari meja lain, balik layar dan dinding yang berpotensi menimbulkan distorsi. Mari satukan langkah membangun bangsa melalui aksi nyata dengan mengendapkan segala ego sebagai cermin kebesaran jiwa.

Kian dibutuhkan sikap konsisten (istiqomah) dan budaya mawas diri dalam menyikapi situasi. Pepatah Jawa mengatakan, “mulat sariro hangrosowani”– yang artinya berani melakukan introspeksi diri. Apa pun statusnya perlu kiranya mengedepankan budaya introspeksi. (Azisoko)

Tags:
Saling Memaafkansilaturahmihalal bihalal

Tim Poskota

Reporter

Firman Wijaksana

Editor