Ilustrasi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak. (dokumen warga)

JAKARTA RAYA

Kriminolog UI Ungkap Penyebab Anak Berhadapan dengan Hukum

Minggu 04 Mei 2025, 13:49 WIB

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kriminolog anak dari Universitas Indonesia, Haniva Hasna, menyoroti semakin banyak anak berhadapan dengan hukum atau ABH dengan berbagai kasus tindak pidana belakang ini.

Salah satu penyebab utama banyak ABH adalah faktor struktural, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan minimnya akses anak-anak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

"Sebetulnya yang pertama adalah faktor struktural. Faktor struktural itu ada kemiskinan, ketimpangan sosial, terus minimnya akses mereka untuk mendapatkan kenikmatan, atau mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Sehingga itu biasanya membuat anak-anak itu mudah sekali melakukan kekerasan," ujar Haniva saat dihubungi Poskota, Minggu, 4 April 2025.

Selain itu, kata Haniva, ABH dari lapangan bawah sering kali tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan hukum, seperti pengacara.

Baca Juga: 8.000 Anak Terlibat Kasus Hukum, DPR Sarankan 6 Hal Ini

Berbeda dengan anak dari kalangan atas yang bisa menutup kenakalan dengan kemampuan ekonomi.

Artinya mereka yang terpinggirkan berhadapan dengan hukum, mereka berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.

"Jadi mayoritas anak-anak yang berhadapan dengan hukum itu kan adalah anak-anak dari keluarga miskin, atau yang tidak stabil kehidupannya. Jadi mereka lebih rentan terlibat dalam kejahatan karena lingkungannya yang keras, tekanan ekonomi, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan perlindungan," ungkap Haniva.

Sehingga kemudian, kata Haniva, ketimpangan sosial juga memicu rasa marginalisasi, di mana anak-anak merasa berhak melakukan kejahatan terhadap orang kaya.

Karena mereka beranggapan bahwa tindakannya tersebut tidak akan terlalu merugikan korban.

Selain itu, Haniva menjelaskan, bahwa lingkungan sosial yang kriminogenik, seperti daerah anomi, atau daerah yang minim norma dan nilai moral juga berperan besar dalam membentuk perilaku kriminal anak-anak.

Biasanya daerah anomi ada di pemukiman kumuh di perkotaan. Di daerah anomi tersebut pelanggan moral menjadi hal yang lumrah.

"Daerah anomi itu daerah yang tidak mengindahkan norma, moral, atau nilai. Biasanya di daerah di perkotaan yang orangnya padat banget, orang ngomong kasar itu biasa, mencuri itu biasa. Bahkan ketika terjadi kekerasan mereka menganggap bahwa itu bukan urusanku," beber Haniva.

Baca Juga: Kriminolog UGM: Waspada Peningkatan Kriminalitas di Jakarta Jelang Ramadan

Kemudian banyak anak berbuat kriminal dan berakhir sebagai ABH, juga imbas dari kegagalan lembaga sosial seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan moral.

Sekolah seharusnya menjadi tempat anak-anak belajar tentang aturan dan konsekuensi hukum.

"Misalnya anak-anak harus tahu dan paham bahwa hukuman atas bullying atau kekerasan, agar mereka sadar akan batasan perilaku," kata Haniva.

Selanjutnya penanganan kasus atau proses hukum terhadap anak juga dapat memperkeruh keadaan. Banyak anak yang seharusnya mendapatkan rehabilitasi justru diproses secara hukum layaknya orang dewasa.

Padahal, anak-anak yang berhadapan dengan hukum sering kali adalah korban dari struktur sosial yang rusak, pengasuhan yang buruk, dan sistem hukum yang belum sepenuhnya melindungi hak mereka.

"Korban dari pengasuhan yang buruk. Sehingga kalau anak-anak melakukan kenakalan yang mungkin ada batas-batas tertentu, selain membunuh, itu masih harus direhabilitasi. Bukan dipenjarakan," jelas Haniva.

Menurut Haniva upaya yang nyata untuk menekan angka tindak pidana yang dilakukan usia anak sedang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mencetuskan pendidikan militer untuk anak-anak bermasalah.

Baca Juga: Orang Tua Habisi Anak di Tambun Selatan Bekasi, Kriminolog: Faktor Ekonomi

Dia menanggap pendekatan tersebut cukup efektif untuk membentuk karakter positif, mengajarkan cinta tanah air.

"Juga bisa mengalihkan anak-anak dari pengaruh negatif seperti game online, judi, dan pornografi. Selain itu, kegiatan militer juga membantu anak-anak lebih aktif secara fisik, mengurangi risiko penyakit akibat gaya hidup pasif," beber Haniva.

Apalagi kondisi global saat ini, kata Haniva, anak-anak menghadapi berbagai ancaman modern. Sehingga pendekatan militer dianggap sebagai salah satu solusi untuk membentuk generasi muda yang lebih disiplin dan cinta negara.

Tags:
Kriminologanak berhadapan dengan hukumDedi Mulyadi

Ali Mansur

Reporter

Fani Ferdiansyah

Editor