POSKOTA.CO.ID - Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan atas jasa Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional.
Tanggal ini dipilih berdasarkan hari lahir beliau, yakni 2 Mei 1889. Melalui pemikirannya, Ki Hajar Dewantara menjadikan pendidikan sebagai senjata perlawanan terhadap penjajahan dan fondasi kemajuan bangsa.
Awal Perjalanan Ki Hajar Dewantara
Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara tumbuh di lingkungan bangsawan Keraton Paku Alam, Yogyakarta.
Ia sempat menempuh pendidikan di STOVIA (Sekolah Dokter Pribumi), namun kemudian memilih jalur lain dengan menjadi jurnalis di sejumlah media seperti Utusan Hindia dan De Express.
Keberanian Ki Hajar dalam mengkritik pemerintah kolonial Belanda terlihat jelas dari tulisannya yang berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda".
Tulisan ini mengundang reaksi keras dari pemerintah Hindia Belanda dan berujung pada pengasingannya ke Bangka, kemudian dilanjutkan ke Belanda bersama dua sahabatnya, Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Trio ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai".
Pendidikan sebagai Perlawanan
Selama masa pengasingan di Belanda, Ki Hajar mendalami ilmu pendidikan. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1919, ia semakin gencar mengkritik kolonialisme melalui tulisan dan gagasan.
Puncaknya, pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang terbuka bagi semua kalangan, termasuk rakyat biasa.
Taman Siswa lahir dengan semboyan yang hingga kini abadi dalam dunia pendidikan Indonesia:
"Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Artinya: di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan.
Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Pendidikan bukan sekadar tempat anak belajar formal, tetapi menjadi ladang persemaian benih-benih kebudayaan yang membentuk peradaban bangsa.
Menurut beliau, inti dari pendidikan adalah perubahan. Ia menganalogikan pendidikan seperti tata surya yang selalu bergerak, tidak boleh stagnan.
Jika pendidikan berhenti bergerak, maka akan terjadi kekacauan, sebagaimana planet yang berhenti mengorbit.
Selain itu, Ki Hajar memandang bahwa setiap anak adalah unik, layaknya planet yang memiliki orbit dan kecepatan rotasi masing-masing.
Pendidikan seharusnya menghargai keunikan itu, bukan menyeragamkannya. Maka, pendidikan yang memerdekakan menjadi prinsip utama: membebaskan anak untuk tumbuh sesuai kodratnya.
3 Pilar Perubahan Pendidikan
Dikutip dari YouTube Direktorat KS PS dan Tendik, GTK Kemendikdasmen pada Jumat, 2 Mei 2025, pemikiran Ki Hajar tentang transformasi pendidikan bertumpu pada tiga kerangka perubahan:
1. Kodrat Keadaan
Terdiri dari kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam membentuk karakter masyarakat sesuai lingkungan hidupnya, sementara kodrat zaman menuntut adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan perubahan sosial.
2. Prinsip Perubahan
Berlandaskan pada tiga asas: kontinuitas (kesinambungan nilai budaya), konvergensi (menuju penguatan nilai kemanusiaan), dan konsentris (menghormati keberagaman sambil tetap berakar pada nilai bersama).
3. Perubahan Budi Pekerti
Pendidikan harus menyentuh seluruh aspek manusia: cipta (pikiran), rasa (perasaan), karsa (kemauan), dan pekerti (perilaku).
Hanya dengan pendidikan yang seimbang secara intelektual, emosional, dan fisik, maka akan lahir manusia yang bijaksana.
Pendidikan yang Berpusat pada Anak
Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan harus berorientasi pada anak. Dalam ajarannya, pendidik tidak seharusnya memaksakan kehendak, tetapi "berhamba kepada anak".
Ini berarti mendekati anak dengan tulus, memahami kebutuhan dan keunikan mereka, serta membimbing dengan kasih sayang.
Dalam analogi Ki Hajar, guru adalah seperti petani yang harus memahami jenis benih yang ditanam. Padi harus diperlakukan sebagai padi, bukan dipaksa menjadi jagung. Demikian pula, setiap anak harus dibimbing sesuai dengan kodrat dan potensinya.
Warisan Abadi untuk Bangsa
Setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia.
Warisannya tak hanya dalam bentuk lembaga Taman Siswa, tetapi juga dalam filosofi pendidikan yang humanis dan membebaskan. Semboyan "Tut Wuri Handayani" tetap menjadi motto pendidikan nasional hingga kini.