POSKOTA.CO.ID - Belakangan ini wacara pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden menjadi perbincangan publik setelah adanya usulan dari Forum Purnawirawan TNI.
Dalam usulannya, Forum Purnawirawan TNI menyebutkan pertimbangan untuk memakzulkan anak dari Joko Widodo (Jokowi) tersebut.
Dalam pernyataannya, disebutkan bahwa keterpilihan Gibran terlihat dipaksakan dan dinilai pencalonannya bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Baca Juga: Wakil Ketua MPR RI Sebut Pihaknya Belum Terima Laporan Desakan Mundur untuk Gibran
Ulasan dari Pakar Hukum Tata Negara UGM
Adanya usulan tersebut memicu diskusi terkait kemungkinan menghentikan wakil presiden. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Yance Arizona mengatakan bahwa usulan pemakzulan tersebut belum memiliki dasar hukum yang memadai.
Menurutnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional bukan semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik.
“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan ke arah Gibran,” ucap Yance dikutip pada Kamis, 1 Mei 2025.
Yance menjelaskan bahwa secara konstitusional, mekanisme pemakzulan presiden atau wakil presiden telah diatur secara tegas dalam pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal tersebut menyatakan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum.
Pelanggaran tersebut berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelah yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yance mengatakan bahwa MPR bukan lembaga yang memulai proses pemakzulan melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir.
Baca Juga: Buka Suara Soal Usulan Pemakzulan Wapres Gibran, Wiranto Singgung Soal Trias Politika
Yance menyebutkan bahwa pintu masuk pemakzula ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebab DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat jika terdapat dugaan presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7 A tersebut.
“Kalau MK menyatakan terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk MPR mengadakan sidang dan memberhentikan presiden atau wakil presiden,” ungkapnya.
Kemudian jika dalam proses pencalonannya diduga melakukan pelanggaran etik atau manipulasi, bisa dimasukkan sebagai perbuatan tercela sebagaimana dalam pasal 7A.
Namun aspek ini membutuhkan penyelidikan hukum yang cermat untuk membuktikan adanya pelanggaran yang masuk dalam kategori perbuatan tercela atau penghilangan syarat konstitusional.
Baca Juga: Wapres Gibran Monolong Bicara Soal Hilirisasi Langsung Dirujak Warganet
“Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi terlibat dalam manipulasi yang sudah terjadi atau sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden,” jelasnya.
Ia menegaskan jika usia batas calon presiden dan wakil presiden diatur dalam UUD 1945 adalah 40 tahun.
Dalam kasus Gibran, soal usia ini menjadi hal yang krusial mengingat ia dilantik saat usianya belum mencapai batas minimal.
Hal ini membuka ruang bagi interpretasi hukum yang lebih luas, terutama jika proses hukum membuktikan syarat tersebut memang dilanggar secara sistematis dan disengaja.
Artinya, di tengah ramainya pembicaraan publik proses pemakzulan hanya sah bila berangkat dari pondasi hukum yang kokoh dan bukan karena gelombang ketidakpuasan politik.
“Jika memang terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk pemakzulan karena menyangkut sayart konstitusional. Tetapi tetap harus dibuktikan secara hukum,” pungkasnya.