POSKOTA.CO.ID - Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), momen penting untuk mengenang jasa-jasa Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional yang juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Penetapan tanggal ini bukan tanpa alasan, karena bertepatan dengan hari kelahiran beliau yang sarat makna dan perjuangan.
Sehingga, penting juga untuk mengenal sosok pejuang pendidikan di Tanah Air, Ki Hajar Dewantara.
Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara
Dikutip dari YouTube Halo Edukasi pada Kamis, 1 Mei 2025, Ki Hajar Dewantara lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Pakualaman, Yogyakarta.
Ia berasal dari lingkungan bangsawan, putra dari GPH Suryaningrat dan cucu dari Pakualam III.
Meski lahir dari keluarga priyayi, sejak muda ia menunjukkan sifat independen, merakyat, dan berpikiran terbuka.
Pendidikan awalnya ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Eropa, kemudian melanjutkan ke STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), sekolah kedokteran untuk pribumi. Namun, pendidikannya di STOVIA terhenti karena masalah kesehatan.
Baca Juga: Di Hari Pendidikan Nasional, Program PLN Mengajar Kenalkan Dunia Kelistrikan
Aktivis, Jurnalis, dan Pendiri Taman Siswa
Sebagai seorang aktivis pergerakan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara menentang keras penjajahan Belanda.
Ia aktif menulis di berbagai media seperti Midden Java, Kaum Muda, De Express, dan dikenal dengan gaya tulisan yang tajam serta bersemangat antikolonial.
Ia juga tergabung dalam organisasi Budi Utomo, di mana ia bertugas di seksi propaganda untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme.
Salah satu karya tulisnya yang paling terkenal berjudul "Als Ik een Nederlander Was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), diterbitkan di surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913.
Tulisan ini mengkritik keras pemerintah kolonial Belanda karena menggelar perayaan kemerdekaan di negeri yang masih dijajah.
Akibat tulisannya tersebut, ia diasingkan ke Pulau Bangka, sebelum akhirnya bersama dua tokoh lain, Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, diasingkan ke Belanda. Ketiganya kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Merintis Pendidikan Nasional
Di masa pengasingan, Ki Hajar Dewantara aktif di organisasi Indische Vereeniging dan mendirikan kantor berita Indonesia.
Ia juga berhasil meraih Europeesche Akte, sebuah ijazah bergengsi yang menjadi dasar bagi pendirian lembaga pendidikan Taman Siswa pada tahun 1922.
Lembaga ini menjadi tonggak penting dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum pribumi, yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi kaum elite dan bangsa penjajah.
Salah satu warisan paling berharga dari Ki Hajar Dewantara adalah semboyan pendidikannya yang masih relevan hingga kini:
"Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."
Artinya: Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Slogan ini menjadi filosofi dasar dalam dunia pendidikan Indonesia.
Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya, Presiden Soekarno secara resmi mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959.
Namanya juga diabadikan dalam berbagai bentuk penghormatan, seperti pada kapal perang TNI AL dan uang kertas pecahan Rp20.000 edisi 1998.
Makna Hari Pendidikan Nasional
Meskipun bukan hari libur nasional, Hari Pendidikan Nasional dirayakan secara luas oleh berbagai institusi pendidikan di seluruh Indonesia.
Upacara, seminar, dan kegiatan edukatif digelar sebagai bentuk penghormatan kepada para tokoh pendidikan serta untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan.
Hardiknas menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Generasi muda diharapkan dapat memanfaatkan kemudahan akses pendidikan saat ini untuk meraih ilmu setinggi-tingginya.
Selain itu, peran keluarga, khususnya orang tua, sangat penting dalam membentuk karakter anak sesuai dengan norma dan nilai pendidikan.
Ki Hajar Dewantara telah membuka jalan bagi pendidikan yang inklusif dan merata di Indonesia. Semangat dan pemikirannya dinilai masih sangat relevan hingga hari ini.