DINAMIKA politik di Tanah Air belakangan menunjukkan arah memburuk. Sebab terkait hajatan Pilkada Serentak 2024, di beberapa daerah terjadi kartel politik atau politik kartel.
Yakni berhimpunnya hampir seluruh parpol untuk menentukan satu calon kepala daerah (cakada), yang dimau oleh sekelompok elit politik. Kartel Politik ini menampakkan gejala buruk. Maka akan lebih baik bila, bubarkan kartel politik itu.
Kartel adalah istilah dalam bidang ekonomi, yang maknanya kekuatan sekelompok kekuatan ekonomi yang menguasai pasar, dan menentukan produk yang hanya mereka tentukan. Ini kita analogikan ke politik sebagai kartel politik atau politik kartel.
Dalam kartel politik, kekuatan koalisi sejumlah parpol yang disebut KIM (Koalisi Indonesia Maju) memperluas kekuatan dengan membentuk KIM Plus.
Kekuatan ini menyingkirkan calon gubernur yang tak diinginkan penguasa, seperti Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta, atau juga menyingkirkan parpol tertentu untuk tidak bisa mengajukan calonnya, karena kurang kursi di parlemen (DPRD).
Di Banten, tokoh kuat Airin Rachmi Diany terancam tak bisa maju, karena kartel politik KIM Plus memaksa untuk menentukan pilihan yang dikehendaki kelompok parpol itu. Padahal, Airin adalah tokoh dari Partai Golkar yang juga punya elektabilitas tinggi, dan potensial terpilih.
Demikian pula di Sumatera Utara, lagi-lagi tokoh Golkar Musa Rajekshah (Ijek) gagal maju karena kehendak KIM Plus menginginkan menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution yang maju jadi calon gubernur di Pilkada 2024. Kartel model ini tampaknya juga berlaku di Jawa Timur.
Kartel politik jelas mengamputasi calon yang berasal dari arus bawah atau akar rumput, dan digantikan oleh pemaksaan oleh kemauan elit parpol hingga tokoh puncak di negeri ini. Karena dampak buruk ini, akan baik kalau dibubarkan saja kartel politik itu.
Kalau tidak dibubarkan ini akan digunakan terus, termasuk di Pilpres mendatang, dan hanya akan muncul calon mereka dicarikan lawan capres-cawapres boneka.
Terjadinya kartel politik ini mau tak mau berawal dari adanya Threshold 20 Persen (20 persen kursi di parlemen, yakni DPR dan DPRD) sebagai syarat untuk bisa mengajukan capres-cawapres, lantas, cagub-cawagub, cawalkot-cawawalkot).
Threshold 20 persen itu akhirnya menyiksa berbagai parpol. Dan saat ini digunakan oleh penguasa untuk menggencet lawan politik agar jagonya tidak bisa maju. Seperti nasib Anies dan PDIP.
Prabowo Subianto akan menggantikan Presiden Jokowi, banyak pihak berharap ada suasana pergantian politik dan kebijakannya. Ada yang mengatakan, Prabowo saat ini masih basa-basi untuk mendukung seluruh kebijakan Jokowi, itu konsekuensi logis karena dia dibantu pemenangannya di Pilpres.
Tapi rasanya, kok seperti sama saja cara bermain politiknya, setidaknya dalam Pilgub DKI Jakarta, dengan adanya wacana KIM Plus, semua parpol diminta untuk bersatu mendukung satu jagonya (Ridwan Kamil). Paling tidak terungkap dari Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Partai Gerindra.
Karena semua parpol diborong, maka tinggal PDIP hingga tak bisa apa-apa karena tak cukup kursi di DPRD guna ajukan calon sendiri. Untungnya di Sumut, PDIP bisa mengajukan sendiri, kursinya cukup.
Pada kenyataannya threshold 20 persen digunakan penguasa untuk menekan lawan politik agar tidak bisa mengajukan calon. Maka, karena dampak buruk itu, threshold itu harus dihapus, karena prakteknya merugikan rakyat, yakni tidak mendapatkan calon pemimpin ideal.
Threshold 20 persen harus dihapus, sebagai gantinya,setiap parpol yang sudah bisa masuk parlemen (DPR dan DPRD I dan DPRD II) boleh mengajukan calonnya.
Itu tak melanggar UUD 1945. Misal, di DPR sekarang ada 9 fraksi (dari 9 parpol), masing-masing boleh mengajukan capres. Ini juga meminimalisir money politik di tingkat antar parpol. Kita serukan, bubarkan kartel politik, hapus threshold 20 persen. (*)