“Kian dibutuhkan pejabat yang dekat dengan rakyat, mengetahui isi denyut nadi masyarakat, memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memprioritaskan kepentingan pribadinya dan kerabatnya semata.”
-Harmoko-
Cukup banyak falsafah kepemimpinan yang menjadi rujukan bagi masyarakat, bagi para pejabat negeri kita. Tak terkecuali yang diadopsi dari falsafah kepemimpinan Jawa, di antaranya Tribrata yang dicetuskan RM. Said bergelar Kanjeng Gusti Mangkunegara atau Pangeran Samber Nyawa.
Tribrata atau dikenal istilah kata mutiara Tri Dharma ini, tak ada kaitan langsung dengan konsep Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman utama institusi Polri yang memasuki usia ke-78 pada 1 Juli 2024.
Meski begitu, boleh jadi ada benang merah sebagai rujukan, mengingat Tribrata, warisan Pangeran Sambernyawa, bisa menjadi acuan bagi semua pemimpin negeri ini, termasuk jajaran Polri dari pusat hingga satuan terdepan Polsek dan Pospol.
Falsafah Tribrata yang dicetuskan Pangeran Sambernyawa memiliki tiga prinsip; pertama, Rumongso melu handarbeni (wajib ikut memiliki); kedua, Melu Hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas); dan ketiga, Mulat Sarira Hangrasa Wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran).
Banyak pihak menilai falsafah ini tidak akan pernah usang, tetapi akan terus berkembang, diaktualisasikan sesuai dengan eranya, kapan saja, termasuk era kini saat masa transisi menuju pemerintahan baru serta masa mendatang.
Falsafah ini terlihat sederhana, tetapi sejatinya mengandung makna yang luas dan mendalam, jika mengartikannya tidak secara harfiah.
Makna simbolis melu handarbeni, bahwa tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin di level manapun harus dirasakan, disadari sebagai miliknya. Dengan begitu, segala tugas yang diberikan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab tinggi, bukan setengah hati. Bukan menjadi sepenuh hati setelah anak buahnya meraih prestasi.
Kata melu hangrungkebi dapat diartikan seorang pemimpin harus selalu siap untuk berkorban dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya dengan segala tantangan atau risikonya. Bukan sebaliknya, mengorbankan anak buahnya untuk menanggung risiko atas perbuatan yang dilakukan oleh pimpinannya.
Sementara mulat sarira hangrasa wani dapat bermakna seorang pemimpin harus bersedia secara terbuka untuk melihat kesalahan yang terjadi dalam dirinya dan melakukan tindakan atas kesalahan tersebut, bukan malah menutupi atau melindungi diri dengan jabatannya.
Ketiga prinsip tadi merupakan perpaduan dari nilai-nilai demokrasi, solidaritas, loyalitas, dan kebersamaan, tak ubahnya prinsip kegotong- royongan.
Nilai-nilai ini tumbuh karena dari historisnya Pangeran Sambernyawa adalah pemimpin yang merakyat, bangsawan (darah biru) yang merakyat. Mengingat RM. Said tidak hidup glamor seperti bangsawan lainnya. Sejak kecil, ia sudah membiasakan diri hidup sebagaimana rakyatnya hidup di tengah penjajahan Belanda.
Pejabat yang merakyat inilah yang sekarang dibutuhkan. Pejabat yang dekat dengan rakyat, mengetahui isi denyut nadi masyarakat, memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memprioritaskan kepentingan pribadinya dan kerabatnya semata.
Menyongsong Indonesia Emas 2045, dibutuhkan pemimpin yang peduli rakyat untuk meletakkan pondasi perekonomian rakyat. Tentu, pada era sekarang bagaimana kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, tak hanya pangan dan sandang, tetapi papan. Belum lagi kebutuhan mendasar di bidang pendidikan dan kesehatan.
Ke depan adalah membangun secara berkesinambungan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan, dan kemakmuran bangsa sebagaimana cita-cita negeri ini didirikan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom 'Kopi Pagi' di media ini.
Itulah perlunya konsistensi program pembangunan dengan mengacu kepada grand strategy yang telah menjadi kesepakatan bersama, siapa pun pengendali pemerintahan, siapa pun presiden mendatang.
Kembali kepada falsafah Tribrata. Di institusi Polri dikenal istilah Tri Brata, selain Catur Prasetya dan Kode Etik Polri.
Tri Brata berasal dari bahasa sansekerta, tri: tiga, brata: kaul (nadar) yaitu; 1. Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.
Kami meyakini, tiga nadar ini tidak sebatas di atas kertas, bukan sekadar ikrar dan janji, tetapi harus dijalani secara sungguh-sungguh dengan penuh keikhlasan dan kesadaran tinggi.
Ini sejalan dengan amanat Patih Gajah Mada kepada pasukan Bhayangkara, pasukan elite yang saat itu sedang bertugas menjaga keselamatan Raja Jayanegara demi keamanan rakyat dan kerajaan Majapahit.
Terdapat empat amanat, yang terakhir: Pasukan Bhayangkara Tan Satrisna, artinya memiliki sikap yang muncul dari hati nurani yang ikhlas tanpa pamrih, tidak terikat sesuatu atau hadiah.
Mengabdi kepada bangsa dan negara, kepada kepentingan umum adalah falsafah 18 kepemimpinan Patih Gajah Mada, poin kedua berbunyi: Mantriwira, maknanya seorang pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan, tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun.
Selamat Hari Bhayangkara ke-78. (Azisoko)
Dapatkan berita pilihan editor dan informasi menarik lainnya di saluran WhatsApp resmi Poskota.co.id. GABUNG GRATIS DI SINI.