Kopi Pagi

Kopi Pagi Harmoko: Budaya Beretika Bagian 2

Senin 20 Mei 2024, 06:19 WIB

Pengantar: Budaya beretika perlu dibangkitkan melalui aksi nyata oleh semua elemen bangsa, tak terkecuali keteladanan para elite politik negeri ini.Menyongsong peringatan Hari Kebangkitan Nasional, melalui kolom ini, kami sajikan artikel “Budaya Beretika” dalam dua seri. (Azisoko).
 
“Pelu keteladanan para pejabat, elite politik negeri ini yang bukan hanya melalui doktrin, tetapi ucapan dan perbuatannya. Satunya kata dengan perbuatan yang menjunjung tinggi nilai- nilai luhur bangsa beretika..”

-Harmoko-
 
DI eranya, para pejuang kebangkitan nasional, Dr.Wahidin Sudirohusodo, rekan seperjuangan, Dr.Soetomo, telah mempelopori semangat untuk bangkit membebaskan kaumnya yang lemah.

Mengangkat dari jurang penderitaan dan kenistaan serta kebodohan menuju kemandirian dan kemajuan. Di era sekarang, di masa transisi menuju pemerintahan baru, kebangkitan nasional setidaknya dimaknai sebagai berikut:

Pertama, membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan segenap lapisan masyarakat untuk mengatasi beragam tantangan. Bukan hanya yang terjadi saat ini, juga mendatang.

Kedua, untuk membangkitkan nasionalisme dan kebangsaan, perlu dibarengi dengan membangkitan semangat bertolerenasi, mengingat keberagaman di negeri kita merupakan kenicayaan.

Disinilah perlunya semangat bangkit bersama membangun negeri dengan menghargai keberagaman, menghormati perbedaan dengan menguatkan toleransi, bukan memperbesar perbedaan ataupun mencari pembenaran dengan mencari-cari kesalahan pihak yang berseberangan.

Ketiga, membangkitan semangat berkarya di era digital, utamanya bagi kaum muda mengingat masa depan akan menjadi milik mereka, generasi milenial dan digital.

Kebangkitan era sekarang hendaknya menjadi kebangkitan generasi digital untuk mempersiapkan Indonesia Emas di panggung dunia.

Keempat, tak kalah pentingnya membangkitan semangat budaya beretika bagi semua lapisan masyarakat, tak terkecuali para elite negeri dengan memberi keteladanan melalui ucapan dan perbuatan.

Bicara etika tentu menyangkut soal baik dan buruk. Orang disebut beretika, jika berperilaku baik, bukan buruk. Taat norma, bukan melanggar norma, baik hukum dan sosial. Tidak juga melanggar adab budaya bangsa yang menjadi nilai – nilai luhur falsafah bangsa kita, Pancasila.

Beretika berarti berkata baik dan berbuat baik. Sopan santun, ramah tamah, tidak mencaci -maki, tidak membenci, tidak pula menebarkan kebencian dan permusuhan. 

Ini beberapa etika paling mendasar yang hendaknya menjadi acuan dalam pergaulan dengan sesama, sesama tetangga, sesama profesi, sesama anak bangsa,meski beda profesi dan beda sikap dan pilihan politik. Bahkan, dengan lawan politik pun, hendaknya tetap menjunjung tinggi etika. Itulah demokrasi negeri kita.

Di era digital sekarang ini, etika bermedia sosial hendaknya dikedepankan dengan menata narasi yang menggerakkan inspirasi dan motivasi menuju perbaikan dan kemajuan. Bukan narasi yang memancing permusuhan dan kebencian, termasuk narasi politik. Kita acap menyaksikan sesama warganet saling serang di media soal hingga terjadilah permusuhan, dan tak sedikit yang berujung ke pengadilan.

Hasil survei Digital Civility Index ( Indeks Keadaban Digital ) yang dilakukan sepanjang tahun 2020, dirilis Februari 2021, warganet Indonesia paling tidak sopan se Asia Tenggara. Indonesia menempati urutan 29 dari 32 negara yang disurvei.

Dengan membangkitkan etika bermedia sosial, diharapkan ruang publik akan terisi dengan hal-hal yang baik dan positif serta beradab. Narasi kebersamaan lebih tercipta guna semakin menguatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, ketimbang pengkotak-kotakan yang kian memperbesar perbedaan.

Budaya beretika dalam segala sektor kehidupan perlu dibangkitkan, tak hanya di dunia maya, lebih – lebih di dunia nyata. Bangkit lebih beretika dan beradab dalam membangun bangsa di tengah keberagaman.

Bangkit dari keterlenaan selama ini karena beda pilihan dan dukungan. Bangkit menjadi sadar kembali bahwa pemilu telah usai, perbedaan tak ada lagi. Masa depan adalah milik bersama, bukan milik pemenang kontestasi.

Ini memerlukan keteladanan para pejabat, elite politik negeri ini yang bukan hanya melalui doktrin, tetapi ucapan dan perbuatannya. Satunya kata dengan perbuatan yang menjunjung tinggi nilai- nilai luhur bangsa beretika, bermoral dan beradab, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Dengan nilai-nilai tersebut, akan tercipta keharmonisan dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Tak ada lagi intrik dan konflik, prasangka dan curiga. (Azisoko)

Tags:
budaya beretikaKopi Pagiharmoko

Administrator

Reporter

Aminudin AS

Editor