“Empati akan berlanjut kepada tindakan nyata dalam kehidupan sehari- hari, bukan sebatas ungkapan rasa prihatin dan kesedihan. Bukan retorika membangun citra, tanpa aksi nyata.”
-Harmoko-
Berbagai pihak berharap agar kampanye pemilu berlangsung secara aman, tertib dan damai, berintegritas, tanpa politisasi SARA, tanpa hoax dan tanpa politik uang.
Harapan tersebut tentunya ingin menjadi kenyataan, bukan sebatas pernyataan yang telah diviralkan, termasuk oleh elite politik yang ikut berkontestasi baik dalam pilpres maupun pileg.
Bukan pula sebatas legalitas melalui ikrar dan deklarasi yang sudah ditandatangani bersama oleh ketiga paslon capres – cawapres dan 18 parpol peserta Pemilu 2024.
Legalitas adalah penting sebagai bentuk keabsahan dalam bertindak, tetapi menjadi mandul jika hanya teronggok dalam tumpukan berkas, tanpa adanya realitas.
Akan lebih terpuji jika tanpa legalitas pun, para elite yang sedang berkompetisi ini terus mengupayakan pelaksanaan kampanye yang berintegritas, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral bangsa dalam berdemokrasi, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yang hendak saya sampaikan adalah kampanye bukannya bebas tanpa batas. Bebas mengusung beragam program dan gagasan untuk meraih dukungan massa. Bebas menyatakan pendapat, beradu program dan gagasan, untuk meraih keunggulan.
Bebas berstrategi untuk sebanyak mungkin meraih simpati, tetapi bukan lantas menghakimi, mau menang sendiri dan menang – menangan dengan menghalalkan segala cara.
Menebar kebencian, permusuhan, fitnah dan berita hoax hendaknya disingkirkan dari dalam hati dan pikiran, lebih – lebih dalam ucapan dan perbuatan.
Adu gagasan untuk memajukan bangsa dan negara, memakmurkan rakyatnya, hendaknya dikedepankan, tetapi adu kekuatan (fisik), adu kekuatan massa kampanye, semestinya dihindarkan.
Sebab, tingkat keterpilihan bukan semata diukur dari besarnya jumlah massa yang hadir dalam kampanye. Bukan kerasnya yel – yel peserta kampanye, bukan kemeriahan panggung kampanye, bukan pula dari banyaknya bendera,poster, baliho dan spanduk dukungan yang memenuhi arena kampanye.
Boleh jadi penampilan semuanya itu semu, hanya di atas permukaan, tidak merasuk ke dalam hati, sementara pilihan adanya pada nurani.
Cukup beralasan , jika kemampuan meraih empati menjadi kata kunci bagi para calon pemimpin bangsa dan calon wakil rakyat, sebagai tahap awal menuju kemenangan.
Tidak berlebihan sekiranya adu empati boleh diuji, ketimbang menebar banyak janji yang beraroma mimpi.
Sering kita dengar istilah "empati" yang dalam kehidupan sehari - hari diartikan sebagai upaya ikut merasakan derita orang lain seolah - olah derita diri sendiri.
Berarti ada kemampuan melihat derita orang lain, melibatkan emosi dan kesulitan yang dialami seseorang, kemudian ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Itulah empati. Itu pula yang hendaknya dikedepankan oleh para calon pemimpin bangsa dan calon wakil rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dengan empati akan tergerak hati ikut membantu dan menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain. Tidak sebatas rasa iba dan kasihan sebagaimana simpati.
Mengapa? Simpati sebatas menyampaikan perhatian, tetapi tidak mengungkapkan kesedihan bersama. Maknanya, jika simpati, lazimnya, hanya berhenti pada rasa iba dan kasihan sebagai bentuk perhatian, tetapi empati akan berlanjut pada tindakan membantu terhadap mereka yang sedang membutuhkan bantuan.
Empati akan berlanjut kepada tindakan nyata dalam kehidupan sehari- hari, bukan sebatas ungkapan rasa prihatin dan kesedihan. Bukan retorika membangun citra, tanpa aksi nyata.
Sementara kita semua tahu, aksi nyata yang dibutuhkan negeri saat ini, bukan retorika melalui kampanye. Aksi nyata adanya kepedulian kepada rakyat akan menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan pada pilpres dan pileg mendatang. Ketimbang janji yang belum pasti dapat terpenuhi.
Mari menebar empati, bukan janji, bukan pula mimpi. Beradu gagasan bukan kekuatan. (Azisoko).