Kopi Pagi

Kopi Pagi Harmoko: Kontrak Politik

Kamis 15 Jun 2023, 07:30 WIB

“Dituntut keteladanan para elite untuk menepati janji, kontrak politiknya. Hendaknya jangan menganggap dan menjadikan janji hanya sebagai penuntut tanggung jawab moral, tetapi memenuhi adalah kewajiban.”

-Harmoko-

Kita sering mendengar istilah politik dagang sapi, ongkos politik, mahar politik, dan money politic yang semuanya mengacu kepada sebuah kesepakatan antara dua pihak, bisa juga banyak pihak.

Kita juga mengenal istilah “kontrak politik” yang lagi ngetren.

Kata yang tak asing lagi, setiap jelang pemilu, pilpres maupun pilkada.

Itulah sebabnya, budaya kontrak politik, lazimnya melibatkan elite partai dengan kandidat, antara kandidat dengan sponsor politik untuk memenangkan kompetisi, dengan segala kompensasi yang ikut menyertainya.

Makna yang dapat kita tangkap, dalam budaya kontrak politik tak ada yang gratis alias cuma-cuma.

Tak melulu soal finansial, bahkan dalam kontrak politik lebih mengacu kepada kompensasi power sharing.

Tak hanya di bidang politik dan pemerintahan, bisa jadi di sektor ekonomi, sosial dan budaya.

Yang hendak saya sampaikan bahwa kontrak politik sulit terbantahkan dalam dinamika demokrasi sekarang ini.

Dengan sistem pemilihan langsung sejak era reformasi akan membuka peluang terjadinya kontrak politik.

Pencalonan presiden-wapres melalui mekanisme ambang batas (Presidential Threshold), mengharuskan parpol membangun koalisi.

Tanpa koalisi, hanya satu parpol (PDIP) yang memenuhi syarat untuk mengajukan paslon capres-cawapresnya.

Delapan parpol parlemen lainnya, mau tidak mau harus berkoalisi agar memenuhi sedikitnya 115 jumlah kursi di DPR sebagai syarat ambang batas.

Jika bicara koalisi, tak bisa lepas dari dagang sapi, bagi-bagi kursi sesuai dengan porsinya.

Meski tidak ada kontrak politik secara tertulis, tetapi fakta dari pemilu ke pemilu, dapat kita rasakan dan saksikan.

Bahkan, adanya penyebutan parpol koalisi pendukung pemerintahan dan parpol oposisi, makin menegaskan adanya power sharing.

Apalagi acap mencuat komentar, parpol yang tidak mendukung pemerintahan lagi, sebaiknya keluar dari kabinet, meski kontrak politiknya untuk mengawal pemerintahan hingga akhir periode.

Dalam sistem pemilihan capres-cawapres secara langsung, sementara kandidat ditentukan oleh parpol, sejatinya kontrak politik sangatlah diperlukan.

Parpol pengusung hendaknya membuat kontrak politik kepada paslon yang diusung.

Tentu kontrak politik dengan komitmennya membangun bangsa dan negara dengan mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya.

Menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tujuan negeri ini didirikan.

Mengayomi dan melindungi seluruh rakyat tanpa kecuali, tanpa diskriminasi, tanpa pembedaan perlakuan, tanpa melihat latar belakang dukungan dan aspirasi politiknya.

Tanpa melihat relawan dan simpatisan capres sebelumnya.

Masih banyak poin-poin kontrak politik lainnya demi kemajuan bangsa, berikut sanksinya, jika terjadi pelanggaran, misalnya siap dimakzulkan.

Kontrak politik inilah yang dipublish kepada publik guna memperkuat nilai jual, tak hanya capresnya, juga parpolnya.

Kontrak politik, hendaknya dilakukan dengan rakyatnya.

Ini untuk menghapus kesan bahwa kontrak politik selama ini lebih melibatkan elite politik (partai), sementara rakyat kadang diposisikan sebagai pemandu sorak dan sasaran mobilisasi.

Padahal kita tahu, kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, dan inilah yang seharusnya diaktualkan dalam pemilu serentak tahun 2024.

Kontrak politik dengan rakyat, dapat dipahami memberi kuasa kepada rakyat dalam proses pemilu.

Sudah seharusnya kontrak politik menekankan kepada kesepakatan kepada upaya memperjuangkan kebijakan yang pro-rakyat, bukan merugikan rakyat, apalagi menyengsarakan.

Rakyat diberi kuasa melakukan pengawasan dan menarik dukungan, jika terjadi pelanggaran atau pengingkaran kontrak politik.

Dengan begitu diharapkan rakyat benar-benar menentukan pilihannya secara kritis berdasarkan pertimbangan rasional, bukan indoktrinasi atau manipulasi berbasis nilai-nilai, sentimen agama maupun primordialisme.

Tentu, kita memaknai kontrak politik itu beda dengan kampanye.

Kontrak politik juga bukan perjanjian hukum yang dapat digugat ke pengadilan.

Tapi, melalui kontrak politik yang dilegalkan, rakyat dapat menggugat untuk menarik mandatnya.

Kita sebut kontrak politik adalah janji kepada rakyat, tapi jangan sampai setelah terpilih lupa akan janjinya.

Dituntut keteladanan para elite untuk menepati janji,kontrak politiknya. Hendaknya jangan menganggap dan menjadikan janji hanya penuntut tanggung jawab moral, tetapi memenuhi adalah kewajiban, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Siapa pun hendaknya memiliki kesadaran diri bahwa tidak memenuhi janji adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri.

Di sisi lain, janji adalah utang.

Menepati janji tidak hanya akan meningkatkan kadar kepercayaan, juga dapat melanggengkan kekuasaan.

Politisi yang tidak menepati janji, jangan harap dapat terpilih lagi pada periode mendatang. (Azisoko)

Tags:
Kopi PagiKopi pagi Harmokokontrak politikcapresAzisoko Harmoko

Administrator

Reporter

Administrator

Editor