“Perenungan diri menjadi penting agar tidak terlena oleh banyaknya pujian dan sanjungan yang datang silih berganti. Kadang, tak semua sanjungan itu tulus. Yang berlebihan dapat memabukkan hingga menciptakan kesombongan,”
-Harmoko-
Menyampaikan aspirasi tidaklah dilarang, bahkan dilindungi oleh undang-undang sebagai cermin negara berdasarkan konstitusi.
Tentu, aspirasi akan beragam, karena tidak selamanya sejalan dan sehaluan atas sebuah kebijakan, tetapi patut diyakini tujuannya untuk perbaikan dan kemajuan bersama.
Itulah sebabnya menyerap aspirasi menjadi kewajiban.
Bahwa di dalamnya terdapat penolakan dan dukungan atau ada yang mengapresiasi atau mengkritisi, patut disikapi secara bijak.
Jangan lantas memposisikan pemberi aspirasi sesuai tema aspirasinya. Yang mendukung atau setuju disebut "pro", yang tidak mendukung atau tidak setuju dikatakan "anti" sehingga perlu “dikebiri”.
Jika ini yang dikemas akan membangun komunikasi kontradiksi, bukan harmonisasi, situasi yang sangat dibutuhkan saat ini. Lebih-lebih di tahun politik, jelang pilpres, yang kian hari suasana semakin dinamis, jika tidak dikatakan menghangat.
Patut diingat, negeri ini berdiri atas kehendak rakyat, perjuangan seluruh rakyat, bukan orang perorang.
Begitupun tujuan negeri ini didirikan adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang di dalamnya adil dalam perlakuan terhadap setiap warga negara meliputi setiap aspesk kehidupan, termasuk dalam menyerap aspirasi.
Itulah sebabnya seluruh keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah pun hendaknya selalu berlandaskan pada aspirasi dan kepentingan seluruh warga negara.
Diselaraskan dengan kehendak rakyat. Rakyat yang dulu menitipkan-memandatkan suaranya saat pemilu, pileg dan pilpres, kepada para elite politik yang sekarang menjadi penguasa.
Maknanya elite politik (baik di eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan/ lembaga lainnya), hendaknya dalam dirinya menjelma kehendak rakyat.
Logika dasar demokrasi mengajarkan demikian.
Bukan menjelmakan suara dirinya, kelompoknya menjadi suara rakyat.
Bukan pula mengatasnamakan suara rakyat untuk kepentingan politik dirinya, kelompoknya dan kerabatnya.
Kini, saatnya para elite politik lebih memantapkan diri untuk mencermati kehendak rakyat dengan menyerap aspirasi berdasarkan fakta dan realita. Bukan yang hanya berada di permukaan berisi pujian dan dukungan, tetapi menguak kenyataan yang sebenarnya dirasakan rakyat, utamanya di lapisan bawah yang acap terpinggirkan.
Bisa jadi mereka terpinggirkan karena menjadi korban kebijakan, diskriminasi perlakuan atau karena dianggap berseberangan.
Bisa juga terpinggirkan karena jauh dari distribusi hasil-hasil pembangunan
Rakyat seperti inilah yang sejatinya perlu diangkat harkat dan martabatnya, bukan rakyat yang hanya menebar panggung dukungan.
Tiada salahnya, kita semua, utamanya para elite politik, kandidat yang hendak berlaga pada pemilu mendatang, setidaknya sejenak merenung diri untuk tidak terjebak oleh banyaknya dukungan dan pujian.
Perenungan diri menjadi penting agar tidak terlena oleh keadaan, oleh banyaknya pujian dan sanjungan yang datang silih berganti.
Sementara kita wajib meyakini tidak semua sanjungan itu tulus. Kadang sanjungan yang berlebihan dapat memabukkan, membuat lupa diri, hingga dapat menciptakan kesombongan seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Tak sedikit tokoh hebat dunia tergelincir dari kekuasaannya karena terbuai bujuk rayu, pujian dan sanjungan, lebih-lebih kesombongannya karena merasa dirinya paling hebat, paling kuat, paling banyak pendukungnya, simpatisannya, fansnya.
Yah, paling segalanya. Termasuk merasa yang paling benar.
Sifat “keakuan” diri inilah yang cenderung abai terhadap kondisi riil aspirasi yang sebenarnya karena abai terhadap saran dan masukan yang tidak sejalan atau bertolak belakang dengan dukungan yang muncul di permukaan yang begitu menggurita.
Itulah perlunya sikap bijak atau legowo menerima saran dari siapapun datangnya, termasuk sentilan dari lawan politiknya.
Cermati pesan yang hendak disampaikan, bukan dengan melihat orang yang menyampaikan.
Meski, belum tentu sepenuhnya benar, perlu diterima dengan baik sebagai bentuk kepedulian mengembangkan tatanan demokrasi yang kita anut, demokrasi saling menghargai, bukan saling membenci dan memusuhi. (Azisoko)