“Pemimpin yang baik, lahir dari “rahim” rakyat. Jika mereka kader parpol adalah yang merangkak dari bawah, sehari – hari bergaul bersama rakyat, paham betul kebutuhan riil masyarakat, ikut serta menyelesaikan problema rakyat.” - Harmoko-
Politik uang dalam praktik politik di negeri kita adalah keniscayaan. Meski aturan melarangnya dan beragam imbauan tiada henti disampaikan, tetap saja money politic masih mewarnai setiap perhelatan pemilu. Jual beli suara itu pula yang membuat politik berbiaya tinggi.
Mahalnya biaya politik inilah yang menjadi satu alasan adanya keinginan mengubah pola pemungutan suara pemilu legislatif dari proporsional terbuka (coblos caleg) menjadi proporsional tertutup (coblos partai).
Aturan tentang pola pemungutan suara yang tertera dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sekarang tengah diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul adanya gugatan sejumlah orang yang merasa sistem proporsional terbuka merugikan mereka.
Sering menjadi bahasan bahwa pileg dengan coblos caleg selain menciptakan politik berbiaya tinggi, politik transaksional, juga dapat mengganggu sistem kaderisasi.
Banyak kader yang sudah dididik, digadang – gadang oleh partainya, tetapi dalam pileg ternyata kalah oleh orang yang memiliki uang. Begitu sudah menjadi anggota dewan, sulit dikontrol partainya. Acap partainya dikooptasi oleh calon seperti itu.
Jika dicermati, kondisi seperti itu, bukan melulu karena sistem coblos caleg. Masih banyak faktor penyebabnya, selain makin perlunya pendidikan politik kepada masyarakat, sistem rekrutmen kader parpol hendaknya perlu terus diperbaiki sesuai dengan situasi yang terus berubah.
Kaderisasi memegang peranan penting, lebih – lebih mereka yang berada di akar rumput sebagai ujung tombak perjuangan partai untuk memberi kepercayaan kepada publik bahwa partainya yang sangat peduli kepada rakyat.
Tak hanya menyerap aspirasi, tetapi memperjuangkan dan merealisasikan aspirasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR dan DPRD.
Diperjuangkan oleh kader – kader partainya yang duduk juga di lembaga eksekutif, baik sebagai presiden, gubernur, bupati maupun walikota.
Kaderisasi menjadi sangat urgen, mengingat yang memproduksi calon pemimpin bangsa ke depan adalah partai politik. Maknanya parpol pula yang memproduksi kekuasaan, utamanya di eksekutif maupun legislatif.
Itulah sebabnya kaderisasi tak hanya bagi calon – calon legislatif, juga calon kepala daerah, bahkan calon presiden dan calon wakil presiden, termasuk mereka yang nantinya bakal duduk di kabinet.
Ini perlu disiapkan dari awal, dari level paling bawah, di tataran akar rumput karena di sanalah sejatinya aspirasi rakyat. Di sana pula kaderisasi hendaknya dimulai.
Ada filosofi seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang lahir dari “rahim” rakyat, tumbuh dan berkembang bersama rakyat.
Mereka inilah yang mengetahui denyut nadi rakyat, tahu persis derita rakyat, kebutuhan rakyat, lebih tahu solusi jitu mengangkat harkat dan martabat rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini..
Jika mereka kader parpol adalah yang merangkak dari bawah, sehari – hari bergaul bersama rakyat, paham betul kebutuhan riil masyarakat, ikut serta membantu menyelesaikan problema rakyat.
Karena lahir dan besar bersama rakyat, maka sudah dikenal cukup baik oleh rakyat. Sudah teruji. Jika maju sebagai sebagai caleg atau calon kepala daerah tidak perlu lagi biaya tinggi karena telah meraih simpati. Boleh jadi, rakyat akan sukarela mengawal pemilu yang jurdil dari TPS hingga hasil akhir.
Ingat! Masyarakat semakin cerdas memilih calon pemimpin yang amanah. Karenanya, bukan saatnya lagi parpol masih tergiur kader “ujug – ujug” karena berhambur fasilitas, membawa banyak tas, meski minim kualitas dan loyalitas.
Jika sistem rekrutmen mengabaikan kualitas dan loyalitas, tak ubahnya membuka peluang praktik politik uang dalam pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada.
Calon minim kualitas, tetapi memiliki ‘banyak tas’ akan menggunakan isi tasnya untuk menutupi kekurangannya, kelemahan substantif dari kualitasnya.
Kemampuan fasilitas itulah yang dipergunakan pula untuk politik transaksional, saat pemilu.
Berpolitik adalah hak setiap warga negara.Menjadi kader partai, calon pemimpin di legislatif maupun eksekutif, di level manapun, juga menjadi hak setiap warga negara.
Menjadi kader parpol, berarti siap menjadi calon pemimpin bangsa.Berarti pula perlu menyiapkan atas kemampuan yang dimiliki. Setidaknya memiliki kapabilitas,akseptabilitas, tak kalah pentingnya integritas. Memang penilaian demikian tidaklah datang secara subjektif, meski begitu tiada salahnya bersifat rendah hati.
Hendaknya calon pemimpin bersikap “ ojo rumongso biso, ning biso rumongso” –Jangan pernah merasa bisa (dirinya hebat), tetapi hendaknya bisa merasa atau tahu diri atas keterbatasan yang dimiliki.
Ambisi harus, tetapi tidaklah harus ambisius. (Azisoko).