Oleh: Deny Zainuddi, wartawan Poskota
KERETA Rel Listrik (KRL) Jabodetabek hingga saat ini masih menjadi transportasi publik banyak diminati, terlebih bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah penyangga namun beraktivitas di Ibu Kota DKI Jakarta. Sebab, selain memudahkan jarak tempuh kehadirannya pun sangat ekonomis hingga menjadi pilihan.
Berdasarkan data Kereta Api Indonesia (KAI) Commuter, jumlah penumpang KRL Jabodetabek setiap harinya mencapai 1,2 juta orang. Hingga tak heran, terlebih pada saat jam-jam sibuk hampir seluruh gerbong kereta sesak dipenuhi penumpang untuk memanfaatkan transprtasi publik ini.
Seiring dengan tingginya minat masyarakat terhadap transportasi publik tersebut, pemerintah pun memang turut meningkatkan pelayanan dan menargetkan jumlah penumpang hingga 2 juta orang per harinya.
Namun demikian, di tengah tingginya minat publik terhadap penggunaan KRL, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi mewacanakan penyesuaian tarif bagi kelompok masyarakat mampu. Artinya, orang kaya bakal membayar tarif KRL tanpa subsidi alias lebih mahal.
Sebagaimana diketahui, tanpa disubsidi sejatinya tarif KRL berada dikisaran Rp10.000 sampai dengan Rp15.000. Karena adanya subsidi, penumpang KRL pun saat ini dapat menikmati tarif murah sebesar Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama. Lanjut, tarif Rp1.000 untuk 10 kilometer berikutnya.
Tarif KRL masih disubsidi negara lewat skema publik service obligation (PSO), dan dinilai akan membebani APBN terlebih saat jumlah penumpan KRL terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Soal rencana tersebut, Budi Karya juga telah melaporkan ke Presiden Jokowi . Termasuk soal mekanisme untuk membedakan tarif penumpang yang mampu dengan yang tidak mampu.
Mengenai kebijakan tersebut, tidak sedikit publik tidak setuju bahkan mereka merasa keberatan. Bagi masyarakat yang mampu, pemerintah tak sepatutnya mengelompok-kelompokan untuk tarif KRL. Mengingat, mereka sejauh ini telah mendukung program ‘langit biru’ dengan beralih ke transportasi publik.
Bisa jadi juga, adanya wacana tersebut mereka yang mampu akan memilih kembali menggunakan kendaraan pribadi dan meninggalkan KRL untuk beraktivitas. Karena pilihan ekonomis dalam transportasi publik tersebut, nantinya sudah tidak didapatkan kembali.
Maka baiknya, pemerintah tidaklah pilah-pilah penumpang dalam memberlakukan tarif KRL. Sebab, bukan untung yang ada akan buntung, baik dari pendapatan maupun lingkungan sendiri. (*)