Yang diperlukan, bagaimana gotong royong sebagai jati diri bangsa dapat teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa - Harmoko
"BERILAH makan kepada orang yang lapar, berilah payung kepada orang yang kehujanan.” Itulah dua pitutur luhur yang diajarkan Sunan Bonang (Wali Songo) yang hingga kini masih tetap aktual, dan tetap aktual sampai kapan pun. Lebih-lebih di era sekarang ini, di tengah situasi ekonomi yang sedang bergejolak, di tengah melonjaknya kenaikan harga sembako pada bulan Ramadan ini.
Lengkapnya ada empat pesan yang disampaikan Raden Makdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Dua lainnya adalah “Berilah tongkat kepada orang buta, berilah pakaian kepada orang yang telanjang”.
Pesan serupa dalam bahasa Jawa juga disampaikan Sunan Drajat. “Menehanan teken marang wong kang wuto, menehana mangan marang wong kang keluwen, menehana busana marang wong kang kawudan, menehana ngiyup marang wong kang kaudanan. Kalimat itu terpampang dengan jelas begitu memasuki di kompleks pemakaman Sunan Drajat, di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, JawaTimur.
Jika dirangkai keempat pesan itu mencerminkan adanya perilaku kerja bersama saling bahu membahu, saling melengkapi-sering disebut gotong royong yang di dalamnya terdapat aktivitas saling berbagi, saling membantu, tolong menolong tanpa pamrih sebagaimana diamanatkan dalam nilai-nilai luhur falsafah bangsa kita, Pancasila.
Bukankah sering dikatakan pula, termasuk oleh founding fathers negeri kita, jika Pancasila diperas yang muncul kemudian (isinya) adalah “gotong royong.” Di sisi lain, Pancasila itu sendiri digali dari mutiara bangsa Indonesia.
Mencermati kata, tentu yang sebatas yang tersurat, tetapi akan jauh lebih bermakna yang tersirat.
Beri makan kepada orang yang lapar, tentu bukan sekadar memberi nasi berikut lauk pauknya, tetapi bagaimana negeri ini dapat memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, lebih jauh lagi adalah tingkat kemakmuran.
Memberi tongkat, bisa berarti memberi jalan kehidupan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kesehatan.
Memberi busana, bukan sebatas sandang, tetapi menutup rasa malu dengan mengajarkan nilai-nilai etik dan moral. Program revolusi mental yang didengungkan sudah sejalan, tetapi belum berjalan sebagaimana didengungkan.
Memberi payung tidak sekadar agar orang tidak kehujanan, tetapi bagaimana negeri melindungi warganya, rakyatnya agar tidak semakin menderita karena ketidakadilan, karena penindasan yang kuat kepada yang lemah, karena praktik monopoli dan oligarki serta upaya-upaya lain baik yang tersamar atau terang-terangan untuk melanggengkan kekuasaan, tanpa mempertimbangkan baik-buruknya keadaan yang bakal terjadi.
Menyadari sepenuhnya ekonomi belum sepenuhnya pulih, di sana-sini masih terjadi kontroversi terhadap kebijakan yang pemerintah gulirkan, seperti stop ekspor minyak goreng, kenaikan harga BBM di tengah kenaikan harga sembako, kenaikan harga elpiji dan masih banyak lagi.
Kebersamaan menjadi satu kata kunci solusi. Melalui budaya gotong royong yang sejak dulu sudah teruji mampu menghadapi segala problema yang terjadi.
Sejarah mencatat Indonesia merdeka karena rakyatnya bahu membahu dan bersatu padu. Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) berdiri kokoh karena semangat gotong royong yang tertanam dan menyatu dalam jiwa bangsa kita.
Yang diperlukan bagaimana gotong royong sebagai jati diri bangsa dapat teraplikasi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa kita, seperi dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Gotong royong adalah potensi. Ritual mudik sarat dengan nilai-nilai kegotong royongan yang didasari adanya ikatan geografis, ikatan emosional, sosial dan budaya serta keagamaan.
Ini dapat terlihat mulai dari perjalanan hingga selama di kampung halaman. Tak hanya berbagi kepada saudaranya di kampung, juga membelanjakan uangnya dalam suasana kekeluargaan dan kebersamaan.
Ini potensi yang bisa dikemas dan dikembangkan untuk kemajuan. Yang terpenting bagaimana kemasannya, mengomunikasikannya, dan menjalankannya.
Di sinilah perlu keteladanan para elite di semua lapisan untuk mengembangkan potensi negeri, bukan memusnahkannya demi memenuhi ambisi pribadi. Bukan pula mengabaikannya karena terselubung agenda rekayasa memenuhi kehendak kelompoknya, koleganya.
Lihat juga video "Bupati Bogor Kena OTT KPK". (youtube/poskota tv)
Ingat! Keteladan adalah kunci utama menularkan jati diri bangsa kepada generasi era kini. Karena generasi milenial dan digital, sangat menghargai keteladanan, ketimbang imbauan, ajakan, apalagi pemaksaan. Terutama keteladanan untuk kembali ke fitrah sebagai manusia yang Pancasilais.
Selamat mudik dan merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman. (azisoko*)