Oleh Winoto, Wartawan Poskota
UPAYA untuk melakukan judicial review (uji materi) president threshold atau ambang batas pengajuan calon presiden menjadi 0 persen, kini kian mendapat sambutan berbagai pihak.
Saat ini ambang batas itu masih sangat tinggi, yakni 20 persen. Artinya, parpol yang punya fraksi 20 kursi DPR bisa mengajukan capres. Kalau tak cukup 20 persen, maka harus berkoalisi dengan partai lain.
Tahun-tahun sebelumnya upaya uji materi itu ke MK sudah dilakukan, namun belum dikabulkan.
Tapi, hingga kini, upaya itu tetap hidup. Tokoh Ferry Juliantono dan pakar hukum tata negara Rafly Harun mengajukan uji materi president threshold di UU Pilpres itu ke MK agar diberlakukan 0 persen.
Kemudian disusul oleh kalangan DPD RI, dengan tujuan yang sama, yakni Bustami Zainuddin dan Fachrul Razi, gugatan untuk ambang batas 0 persen.
Yang cukup menghebohkan setelah Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, seharusnya president threshold memang 0 persen kalau kita ingin mengentaskan korupsi.
Sebab, president threshold 20 persen yang berlaku saat ini telah menimbulkan politik biaya tinggi yang menyulut timbulnya korupsi.
Kalangan parpol, Partai Demokrat dan PKS suaranya juga memberi dukungan president threshold 0 persen, dan yang terakhir PAN juga mendukung.
Sudah banyak diketahui umum, president threshold 20 persen yang diberlakukan oleh undang-undang saat ini, sangat berat bagi parpol.
Adalah partai-partai besar yang diuntungkan, seperti PDIP sudah memiliki 20 persen kursi Golkar atau Gerindra tinggal menggandeng satu parpol bisa 20 persen dan mengajukan capres.
Kini, gugatan dalam uji materi itu menginginkan 0 persen kursi di DPR, artinya setiap parpol bisa mengajukan capres sendiri. Penggugat berpikiran bahwa, nantinya akan muncul banyak capres, karena president threshold 0 persen.
Kondisi pengajuan gugatan saat ini ditinjau waktunya lebih baik di banding empat tahun lalu, karena saat dulu itu ada keinginan kuat di fraksi-fraksi besar di DPR yang membuat UU Pemilu, ingin menerapkan president threshold 20 persen, karena agar hanya capres mereka yang bisa maju.
Untuk saat ini, suasana lebih cair, kemungkinan fraksi-fraksi di DPR juga punya keinginan mengajukan capres masing-masing.
Terlebih, dalam Pilpres mendatang tidak ada petahana yang berkepentingan dengan president threshold, sehingga persaingan lebih seimbang antar calon capres.
Untuk kekuasaan pengajuan capres selama ini memang diberikan hanya kepada parpol, sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 hasil amandeman. “(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Sejauh ini, kekuasaan parpol yang besar ini, tidak dimanfaatkan oleh setiap parpol secara mandiri. Dari 10 parpol yang punya kursi di DPR, nyatanya tidak semua punya capres. Parpol pada memble.
Dua kali pilpres yang lalu, hanya ada dua pasangan capresnya dari dua parpol. Ini memprihatinkan, parpol lain hanya jadi penonton. Tidak berani mengajukan capres sendiri, pun tak berani membuat koalisi dengan parpol lain, untuk mengajukan capres. Ya parpol memble.
Hal itu karena biaya tinggi dalam pilpres. Mereka lebih senang nimbrung, dan konon disebut-sebut menjual kursinya.
Nah, dengan kondisi seperti itu, maka sudah sangat layak, kalau president threshold 20 persen itu digugurkan, dan digantikan president threshold yang realistis, atau bahkan president threshold 0 persen. Putusan MK sangat dinantikan, agar muncul banyak capres, dan lebih dari itu, seperti dikatakan Ketua KPK Firli Bahuri, untuk menghilangkan politik biaya tinggi, serta upaya memberantas korupsi.
Kelak, kalau uji materi dikabulkan, maka sudah seharusnya disambut dengan semangat untuk memunculkan capres-capres yang berkualitas, dan tidak muncul karena kekuatan dana. (*)