Prof Dr Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya,

Opini

Rasialisme

Minggu 07 Jun 2020, 08:00 WIB

DALAM sekejap Amerika Serikat, sejak dua minggu yang lalu menjadi negara yang kacau. Demonstrasi dan penjarahan toko, restoran, pub dsb berlangsung setiap hari hingga hari ini di banyak negara bagian.

 Ini merupakan demo dan penjarahan besar-besaran yang baru pertama kali terjadi. Sebab meskipun pembunuhan terhadap warga berkulit hitam oleh polisi dan warga kulit putih sudah sering terjadi, namun baru kali ini terjadi reaksi spontan massal luar biasa.

 Yang berdemo bukan hanya yang hitam tapi juga yang putih dan yang berwarna. Rupanya puncak kekesalan warga sudah sampai.

Penyebabnya adalah pembunuhan terhadap seorang warga kulit hitam bernama George Floyd oleh seorang polisi berkulit putih di kita Minneapolis. Floyd ditangkap oleh polisi tersebut karena ada pengaduan dari pemilik toko yang mencurigai Floyd membayar dengan uang palsu.

Polisi yang menangkapnya kemudian menindih leher Floyd dengan lututnya di aspal jalan. Meskipun berkali-kali Floyd berteriak “I cannot breathe” (saya tidak bisa bernafas) tapi polisi itu tetap menindih lehernya sekitar sembilan menit. Floyd pun meninggal.

Celakanya tiga polisi yang lain membiarkan saja kejadian tersebut sehingga mereka semua akhirnya dipecat, dipenjarakan dan menghadapi pengadilan. Mereka dituduh melakukan pembunuhan tingkat kedua yang bisa dipenjara hingga 40 tahun.

Warga AS sudah tidak tahan menyaksikan terus berlangsungnya diskriminasi berdasar warna kulit. Warga hitam di negara itu, dan warga kuning serta coklat belum juga dianggap sebagai warganegara yang setara dengan warga putih.

 Sebab belakangan ini pendatang Cina di AS juga mendapat penghinaan dengan kata-kata kotor oleh warga putih berkaitan dengan merebaknya wabah corona di sana.

Rasialisme memang bukan hanya milik AS sebab rasialisme juga ada di berbagai negara. Nazi Jerman dulu muncul akibat pengagungan ras putih Jerman terhadap ras lain terutama Yahudi.

Di Indonesiapun ada diskriminasi atas dasar ras agama dan suku meskipun tidak diungkap secara terang-terangan. Padahal masalah ini justru sangat berbahaya jika tidak boleh dibicarakan secara terbuka.

Sebab, omongan tertutup malahan akan lebih menyuburkan syak wasangka dan kecurigaan antar ras, antar agama dan antar suku yang justru sangat berbahaya.

Peristiwa di AS di atas adalah contoh bagaimana masalah diskriminasi ras dicoba disembunyikan atau ditutupi dengan tayangan film, sinetron di TV dan pemberitaan suratkabar yang menggambarkan seolah telah terjadi pembauran antar ras di AS.

Dalam banyak film dan sinetron selalu digelar penampilan aktor hitam dan putih bersama-sama seolah harmonis. Padahal dalam dunia nyata harmoni sosial tersebut tidak terbukti. Polisi kulit putih menjadi contoh paling jelas masih adanya diskriminasi ras di AS.

Kita berharap masalah perbedaan ras di negara kita boleh dibahas secara terus terang. Misalnya harus berani kita akui bahwa hubungan antara warga Pribumi dan warga Tionghoa di negara kita belum seperti yang kita harapkan. Ini disebabkan oleh, antara lain, faktor sejarah ketika pemerintah kolonial membuat peringkat sosial antara Warga Eropa di urutan pertama, warga Timur Asing (Tionghoa) di tempat kedua, dan yang paling rendah adalah warga Pribumi.

Peringkat sosial tersebut menentukan perbedaan perlakuan dimana pribumi selalu dianggap rendah dan tidak mampu. Hal ini ber lanjut ketika kemudian kesenjangan ekonomi antara Pribumi dan Tionghoa makin melebar dimana Tionghoa dianggap jauh lebih kaya daripada Pribumi. Di masa lampau, kesenjangan ekonomi tersebut telah menimbulkan beberapa kali kerusuhan rasial, yang terakhir terjadi tahun 1998.

Kita tidak ingin terjadi kerusuhan sosial lagi. Karena itu pemerintah dan Para cerdik pandai harus segera mencari jalan untuk menuntaskan masalah antara Pribumi dengan Tionghoa ini agar kejadian 1998 dan tragedi Floyd di AS tidak terulang di negeri kita.

 (Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Tags:
rasialismeposkota.co.id

Reporter

Administrator

Editor