MESKI Perpres No. 75/2019 tentang kenaikan iuran BPJS-Kes telah dibatalkan MA, tapi karena pemerintah capek jadi tukang tombok tiap tahun, terpaksa bikin Perpres baru lagi. Sekarang adu kuat, KPCDI selaku penggugat atau pemerintah yang digugat?
Sejak gugatan KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia) dimenangkan oleh MA 27 Februari 2020, iuran BPJS-Kes sempat turun meski agak molor. Tapi memuaskan keinginan para peserta jenis Mandiri, lama-lama pemerintah tak sanggup lagi. Soalnya realokasi dana sudah difokuskan ke penanggulangan Covid-19.
Bayangkan, dana APBN yang diswit untuk Corona sampai Rp405 triliun. Program Kartu Prakerja juga menyedot dana Rp20 triliun karena sekaligus untuk mengantisipasi kaum pengangguran baru. Ini saja Menkeu Sri Mulyani sudah dibikin mules tanpa tersembuhkan obat gosok.
Tahukah Anda, sumber masalah –atau biangkerok– ketekoran BPJS-Kes itu antara lain juga mbelernya peserta Mandiri, jumlah penunggak iuran sampai 15 juta. Padahal BPJS-Kes juga dikejar-kejar Rumah Sakit karena klaim-klaimnya belum terbayar sampai sebanyak Rp4,4 triliun. Maka jika BPJS-Kes terus memuaskan keinginan
KPCDI, tahun 2024 nanti mengalami ketekoran sampai Rp70 triliun.
Ujung-ujungnya pemerintah juga yang harus nomboki. Gara-gara kenaikan iuran dibatalkan MA, tahun 2020 ini defisit BPJS-Kes tak terhindarkan lagi sampai Rp 39.5 triliun. Padahal kita masih pusing menganggarkan Covid-19 yang hanya Rp 405 triliun itu.
Maka karena keputusan MA tak bisa dikasasi atau upaya hukum lainnya, ya sudahlah, Presiden Jokowi menerbitkan lagi Perpres No. 64/2020 tentang kenaikan iuran BPJS-Kesehatan. Sekarang KPCDI kabarnya sudah ancang-ancang mau gugat lagi. Ayolah, siapa yang lebih kuat, yang kecapekan nantinya malah MA sendiri. (gunarso ts)