JAKARTA - Komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE) ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap. Wahyu menyanggupi membantu HAR, politisi PDI Perjuangan, menjadi Anggota DPR RI melalui pergantian antar waktu (PAW). Guna memuluskan hal itu, Wahyu meminta 'mahar' Rp900 juta.
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar menjelaskan kronologi dugaan kasus suap yang berakhir dengan operasi tangkap tangan (OTT) itu. Kasus bermula pada awal Juli 2019, saat salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan DON, seorang pengacara mengajukan gugatan uji materi terhadap pasal 54, Peraturan KPU No 3 tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara. Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas, Maret 2019.
"Gugatan dikabulkan oleh MA pada 19 Juli 2019 dan kemudian MA menetapkan partai adalah penentu suara dan calon pengganti antar waktu. Penetapan ini yang menjadi dasar PDIP berkirim surat ke KPU untuk menetapkan saudara HAR, sebagai pengganti caleg yang meninggal," ujar Lili dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020).
Tapi pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Rizky Aprilia sebagai pengganti dari Nazarudin. Dua pekan kemudian atau pada 13 September 2019 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa ke MA dan pada 23 September 2019 mengirimkan surat penetapan caleg.
SAE, yang disebut KPK sebagai orang dari pihak swasta, kemudian menghubungi ATF, orang kepercayaan Wahyu, yang juga mantan anggota Bawaslu melakukan lobi untuk mengabulkan HAR sebagai PAW. Selanjutnya ATF mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari SAE kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan HAR.
"WSE menyanggupi membantu dengan membalas 'siap mainkan'," tutur Lili menyebut kode persetujuan yang digunakan tersangka.
Dia menambahkan untuk membantu penetapan HAR sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu, Wahtyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta. Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dengan dua kali operasi proses pemberian yaitu pertengahan dan akhir Desember 2019.
"Pada pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana dan ini sedang didalami KPK, memberikan uang Rp400 juta yang ditujukan ke WSE melalui ATF, DON dan SAE. WSE kemudian menerima uang dari ATF sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan," ungkapnya.
Kemudian pada akhir Desember, HAR memberikan uang kepada SAE sebesar Rp850 juta melalui staf di DPP PDIP. SAE kemudian memberikan uang Rp150 juta kepada DON. Sisanya yakni Rp700 juta, dibagikan Rp450 juta kepada ATF dan Rp250 untuk operasional.
"Dari Rp450 juta yang diberikan ke ATF, sejumlah Rp400 juta rupiah merupakan suap yang ditujukan kepada WSE, komisioner KPU. Uang masih disimpan ATF," ujarnya.
Meski Wahyu telah menerima sebagian upahnya, pada Selasa 7 Januari 2020 berdasar rapat pleno, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan HAR sebagai PAW dan tetap pada putusan awal mereka. Setelah gagal di rapat pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi DON
"WSE menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar HAR menjadi PAW," kata Lili.
Pada Rabu 8 Januari 2020, Wahyu meminta, sebagian uangnya yang dikelola oleh ATF. Hingga akhirnya terjadi operasi tangkap tangan. Tim KPK menemukan dan mengamankan barang bukti berupa Rp400 juta yang berada di tangan ATF dalam bentuk dolar Singapura.
KPK sempat mengamankan delapan orang dalam kurun waktu Rabu (8/1/2019) hingga Kamis (9/1/2020). Delapan orang tersebut adalah Wahyu, ATF, SAE, DON, RTO (asisten Wahyu), IDA ( keluarga Wahyu), WBU (keluarga Wahyu dan I, sopir SAE. Dari delapan orang yang diamankan, KPK menetapkan Wahyu, ATF dan SAE sebagai tersangka. KPK juga menetapkan HAR sebagai tersangka dalam kasus tersebut. (ikbal/yp)
Korupsi
Kode 'Siap Mainkan' Komisioner KPU Harganya Rp900 Juta
Kamis 09 Jan 2020, 23:51 WIB