Selebritis

Akhlis Suryapati, dari Wartawan ke Sinematek

Selasa 09 Jul 2019, 05:10 WIB

PERJALANAN Akhis Suryapati cukup berliku-liku. Terjun ke jurnalistik selama puluhan tahun, menjadi pemimpin redaksi majalah, dan koordinatoriat wartawan film dan musik di PWI Jaya, menjadi anggota Lembaga Sensor Film (LSF), pelatih jurnalistik dan kehumasan, menyutradarai film, kini dunia baru dirambahnya, memimpin arsip film Indonesia, yakni Sinematek. Akhlis Suryapati, yang juga pernah menjadi wartawan dan redaktur majalah ‘Film’ dan ‘Serasi’ serta suratkabar ‘Terbit’  (Pos Kota Grup), secara resmi menggantikan Adisoerya Abdi sebagai Ketua Sinematek Indonesia yang dirintis Drs. Asrul Sani (alm) dan Misbah Yusa Biran (alm). Akhlis memimpin lembaga Pusat Data dan Informasi Perfilman Sinematek Indonesia selama periode 2019 - 2021 mendatang. Sinematek Indonesia (SI) adalah pusat arsip dan data film pertama di Asia Tenggara dan dikelola oleh swasta, yakni oleh Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail (YPPHUI). Sinematek Indonesia sangat penting dan bagi masyarakat dan dunia internasional sebagai lokasi riset pustaka, referensi, kajian perfilman, pembelajaran dan lainnya  di bidang film. Berlokasi di Gedung PPHUI Jalan H. Rasuna Said, Kuningan Jakarta itu tersimpan 2.700 judul film lebih, terutama film Indonesia sejak zaman Indonesia belum merdeka hingga kini.  Selain film,  juga skenario, poster, dan berbagai media yang terkait dengan perfilman nasional. Saat ini Sinematek tidak lagi terbesar di Asia Tenggara. Sebab, negara lain seperti Thailand, justru membangun pusat arsip dan data perfilman dengan dibiayai uang negara. Bahkan ternyata, masyarakat perfilman juga banyak partisipasi untuk kelangsungan Sinematek ini. DIBUTUHKAN MASYARAKAT Jurnalis 56 tahun, kelahiran Pati, Jawa Tengah,  menegaskan, keberadaan Sinematek sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia maupun  internasional. Baik untuk riset, penelitian, referensi, pembelajaran dan lainnya. Namun demikan, jika membayangkan bahwa harusnya Sinematek itu keren dengan gedung artistik megah berlantai marmer, ruangan-ruangannya adem dan tenang untuk membaca, sinemanya menggelegar kalau dipakai menonton film, gudang penyimpannya memiliki temperatur stabil sesuai standar pengarsipan film dan fasilitas pengarsipan serta penyimpanan data tersusun dalam filing-filing yang rapi. Bisa terjaga baik materi aslinya maupun content filmnya terdigitalisasi dalam server dan lain sebagainya. “Sinematek belum mampu mewujudkannya, “  tegas sutradara film “Lari dari Blora”  (2008) dan “Enak Zamanku, tho ?” (2018) ini lagi. Saat ini Sinematek tidak lagi terbesar di Asia Tenggara, katanya. Sebab, negara seperti Thailand saja justru membangun pusat arsip dan data perfilmannya dengan dibiayai uang negara. Dalam siaran pers pertamanya pada Rabu (3/7/2019), suami dari Maya Susanti ini mengungkapkan kondisi terkini lembaga yang dikepalainya. Menurutnya, SI tidak pernah terancam bangkrut, karena mempunyai sumber dana untuk kelangsungannya. Kini karyawan Sinematek bisa mendapatkan gaji layak, jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, juga jaminan pensiun, Akhlis menjelaskan. “Tentu saja para karyawan itu, dari dulu sampai sekarang, terus melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pengarsipan film dan data perfilman," kata ayah dua anak ini. – (dimas).

Tags:

admin@default.app

Reporter

admin@default.app

Editor