Gaya Hidup

Peserta Lomba Burung Mulai dari Pengangguran Sampai Presiden

Kamis 15 Mar 2018, 07:26 WIB

JAKARTA - Penyelanggaraan lomba burung berkicau kini makin merajalela di berbagai penjuru Tanah Air, termasuk DKI Jakarta. Hal ini dipicu dari makin banyaknya kicau mania yang ingin mengadu burung kesayangannya untuk mendapatkan kepuasan batin dari segi hobi, apalagi kalau menang selain meraup hadiah juga harga burung jadi melejit. Kegiatan lomba burung tak lepas dari peranan event organizer (EO) yang menyediakan fasilitas kontes berikut alat pendukungnya, termasuk panitia dan dewan juri. Sejumlah EO profesional secara rutin menggelar kontes yang terdiri dari berbagai tingkatan mulai dari latihan bersama (Latber), latihan prestasi (Latpres), sampai lomba, baik tingkat regional maupun nasional. Peserta lomba terdiri dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari pengangguran, pekerja formal dan informal, pengusaha, pejabat sampai presiden. Hal ini terbukti pada penyelenggaraan festival burung berkicau memperebutkan Piala Presiden di Kebun Raya Bogor, pada Minggu lalu. Presiden Jokowi ikutan menerjunkan burung muraibatu kesayangannya pada lomba bergengsi tersebut, namun gacoannya hanya mampu meraih peringkat sepuluh besar. Seiring melonjaknya jumlah kicau mania maka EO terus bermunculan, mulai dari tingkat kampung sampai nasional. Di Jakarta kini sudah terdapat ratusan EO, namun yang tergolong profesional masih bisa dihitung jari antara lain BnR, Garuda 268 Team, Ronggolawe, PBI Jakarta, Raja Burung, KLI, Raja Fauna, dan seabrek lainnya. Yoga Pratama, pengurus Komunitas Love Bird Indonesia (KLBI) mengatakan EO dan juri biasanya merupakan satu paket. "Kalau juri suka main curang dan mau terima sogokan, maka EO tersebut akan ditinggalkan peserta," kata Yoga di Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (11/3). Menurutnya cerita tentang juri nakal akan cepat sekali beredar di kalangan kicau mania. "Jika EO tak segera melakukan perbaikan internal, maka siap-siap bangkrut karena ditinggalkan peserta. EO profesional juga wajib memiliki atau mengelola lapangan lomba yang umumnya menyewa lahan kosong atau ruang terbuka hijau (RTH). Seperti dilakukan Edi Edward, seorang EO yang memiliki klub pecinta burung Garuda 268 Team. Dia mengelola lapangan lomba di atas lahan milik PLN di Jl Raya Garuda, Kemayoran, Jakpus. Meski lapangannya tidak terlalu besar, namun aktivitas sangat padat. "Dalam seminggu secara rutin kami menggelar kegiatan minimal empat kali. Beberapa di antaranya berlangsung sampai malam karena membludaknya peserta," papar Edi. Pendapatan EO berasal dari sejumlah pemasukan seperti penjualan tiket lomba, sponsor, maupun perusahaan atau pemerintah yang mengajak kerja sama menggelar lomba burung. Harga tiket sangat bervariasi. Untuk Latber atau Latpres, harga tiket mulai dari Rp 30 ribu sampai ratusan ribu rupiah. "Kalau tingkat nasional bisa sampai jutaan rupiah dengan hadiah utama mobil atau sepeda motor," ujar Edi yang sudah sering menggelar lomba tingkat nasional. Adapun lomba burung berkicau pada umumnya meliputi muraibatu, love bird, cucak ijo, kacer, anis, kenari, ciblek, prenjak, pendet, dan lainnya. "Namun jenis burung yang paling ramai dan paling banyak kelasnya adalah muraibatu dan love bird," jelas Edi yang juga sering menggelar lomba burung muda usia di bawah lima bulan (balibul). Tiap lomba tingkat provinsi maupun nasional, diikuti lebih dari 2 ribu peserta. (joko/b)

Tags:

admin@default.app

Reporter

admin@default.app

Editor