JAKARTA - Pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) pada Senin (12/2/2018) merupakan produk perundang-undangan kolot dan kuno yang menjungkirbalikkan fase perkembangan demokrasi di Indonesia bahkan seolah kita dalam kehidupan masa kolonial penjajahan. "Kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran yang dijamin konstitusi dan UU No. 9 Tahun 1998 dalam ketentuan Pasal 122 huruf k revisi UU MD3 dapat dipidana hanya dengan dalih subyektif merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR," kata Direktur Eksekutif Jenggala Center Syamsuddin Radjab. Selain itu, katanya, Pasal 245 dengan alasan hak imunitas anggota DPR telah berupaya menghambat proses penegakan hukum pidana dengan menambahkan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” yang substansinya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 pada 22 September 2015. "Yang paling kasar dalam revisi UU MD3 yakni bagi-bagi kursi kekuasaan pimpinan MPR, DPR dan DPD sebagaimana ketentuan Pasal 15, Pasal 84, dan Pasal 260 yang akan membebani keuangan negara dengan masa kerja kurang dari 1, 5 tahun lagi sehingga tidak efektif dan efisien dalam menjalankan tugas kenegaraan," ucapnya. Menurutnya, alasan penambahan kursi pimpinan adalah memberi penghormatan kepada PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014, padahal dalam revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 dalam konsiderannya dikatakan bahwa UU tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat yang mengubah pimpinan DPR dari sistem hasil pemenang pemilu ke sistem paket yang dipilih dalam sidang paripurna. "Perluasan kewenangan dan tugas DPD pun membuat sistem ketatanegaraan akan rancu karena DPD diberi kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan Perda dan Perda yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dan DPRD sesuai ketentuan Pasal 249 ayat (1) huruf j revisi UU MD3," bebernya. Sejatinya, lanjutnya, DPD dibentuk sebagai perwakilan daerah provinsi agar aspirasinya diperjuangkan di tingkat nasional baik dalam pembentukan UU yang terkait daerah maupun pelaksanaan pemerintahan daerah; otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, pembentukan daerah dan lain-lain. "Bukan mengurusi Perda karena hal tersebut kewenangan Pemda dan DPRD dan bertentangan dengan UU Pemda," ucapnya. (rizal/sir)
Nasional
Syamsuddin: Yang Paling Kasar Revisi UU MD3 Bagi-bagi Kursi
Selasa 27 Feb 2018, 08:12 WIB